Minggu, 07 Agustus 2011

Senyum yang Memudar


Hari ini, sempurna istimewa.

Aku kebanjiran ucapan serta doa-doa. Ada yang berdoa supaya sukses, semoga perkerjan lancar dan ada pula yang iseng berdoa moga cepat dapat jodoh. Ah..,ada-ada saja.
Di kamarku, ada sedikit tumpukan kado yang sebenarnya tidak pernah aku harapkan apalagi sampai aku minta. Tapi tak apalah, di atas semua itu aku sangat berterima kasih atas perhatian mereka. Ternyata memang asyik punya banyak teman dan saudara seperjuangan. Semoga esok lusa aku diberi sedikit kelapangan rizki untuk membalas kebaikan mereka.  

Dan yang paling penting, hari ini, hatiku masih berbunga-bunga, merekah seindah mawar. Tengoklah, dia masih tersenyum kepadaku, masih dengan senyum cerahnya. Secerah sang mentari dhuha.

Dengan bisikan pelan dia bertanya kepadaku.

“ Abang ingin hadiah apa?”

Aku menggeleng. Jarak kami hanya selangkah.

Aku beranjak menuju jendela. Memandang ke luar. Gerimis mulai turun perlahan. Aku menghela nafas panjang. Tanganku pelan menyentuh kaca jendela yang berembun. Dingin seketika menyergap ujung jari. Mengalir ke telapak tangan melalui pergelangan, menerobos siku, bahu, kemudian tiba di hatiku.
Membekukan perasaan
Mengkristalkan semua keinginan
Sore ini, aku ingin menangis dalam kebahagiaan ini.

***
” ayolah, abang ingin hadiah apa? Ini kan hari spesialmu,”
Dia bertanya lagi.

Aku tetap menggeleng. Tidak. Aku tak ingin hadiah apa-apa. Lebih tepatnya, sejak kecil aku terbiasa dibesarkan tanpa hadiah, kejutan dan sejenisnya. Bagiku hadiah hanya berbentuk cerita-cerita menarik dari Bapak, dan masakan spesial mamak serta jenis hadiah yang tidak lazim yang kalian banyangkan.

” Abang sungguh tidak ingin hadiah apa-apa?” dia mencoba menggodaku.

Aku terdiam sejenak.

” Sungguh, abang tidak mengharapkan apa-apa. Abang hanya ingin Lili lekas sembuh,” aku menjawab terbata-bata.

Dia masih tersenyum. Menatapku. ” itu bukan hadiah bang, itu keniscayaan,”

Aku tertegun. Aku tak mengerti. Perkataan macam apa itu. Mengapa dia bicara tentang keniscayaan. Bukankah selama ini dia selalu cerita tentang sebuah optimisme. Tentang janji-janji masa depan.

Memang, beberapa bulan terakhir, dia terbaring lemas di atas tempat tidur. Dokter sudah memvonis sakitnya. Lihatlah, badannya mulai tampak kurus. Sakit itu perlahan menggerogoti tubuhnya. Padahal dulu ia adalah wanita  yang sangat enerjik, kreatif, brilian, aktivis mahasiswa, dan sungguh dia sangat ramah pada setiap orang.

Kawan, coba bayangkan, kali ini, dalam kedaan terbaring lemah dia masih sempat membuatku tersanjung.

” Bang, tersenyumlah. Tersenyumlah untukku ”
” Oya..apakah abang tahu. Abang adalah laki-laki yang baik. Teramat baik malah. Aku yakin, kelak, pasti sangat beruntung wanita yang mendampingimu, ”

C-u-k-u-p

Sungguh semua itu tidak akan berarti apa-apa tapna kesembuhanmu

Ya Allah.., lihatlah, Dia pandai sekali. Amat pandai membesarkan hati orang lain. Padahal aku tahu persis dia sedang menangis dalam senyumnya.

Tapi Mengapa, Tuhan? M-e-n-g-a-p-a ?

Ya tuhan.., jika hari ini aku berhak mengajukan sebuah permintaan, maka aku punya sebuah permintaan sederhana. Ya..,sangat sederhana. Tak lebih. Tak banyak, tak pula istimewa. Aku hanya ingin dia sembuh seperti sedia kala. Aku ingin kembali melihat senyum merekah di wajahnya. aku ingin dia merasakan sepotong kebahagian itu sekali lagi.

Dan sempurna. Saat bulir pertama airmataku jatuh, di luar hujan turun lebih deras. Petir menyambar terang menyilaukan. Berpilin-pilin. Langit entah darimana datangnya mulai terkepung awan hitam. Gelap. Guntur memekakkan telinga. Sungguh kacau balau keadaaan di luar sana. Sekacau suasana hatiku.

Manusia hanya berikhtiar, namun kehendak penguasa langit juga yang berlaku.