Rabu, 23 Desember 2015

GREEN CHAIN MANAGEMENT FOR FURNITURE INDUSTRIES

Jailani1, G051150041
Department of Information Technology For Natural Resources Management,
Bogor Agricultural University, Jalan Raya Tajur Km.6, Bogor 16720, West Java, Indonesia

Background
                Processing industry has an important role for the Indonesian economy. Some sectors of the industry is a major source of state revenue, one of which is the furniture industry.
            Indonesian furniture industry development can not be separated from the support of Indonesia's natural resources are abundant in the form of vast forests that supply raw materials furniture industry and other industries. Support natural resources has not made such a large furniture industry is growing rapidly. According to the Ministry of Industry (2008), in recent years based on the data, the timber industry and forest products have been growing rapidly in competitor countries such as China, Malaysia and Vietnam that do not have their own raw material. Decreased production of furniture industry caused by factors limited raw materials. The result of the further degradation of Indonesia's forests and supply chain management is not good.
            In addition to the study of SCM, public attention is also drawn to environmental issues, known as the Green Chain Management (GCM). Environmental issues become an important global issue in recent years. In connection with the increase in population and industrial impact on the environment, environmental issues are becoming more frequent attention. The concept of sustainability has been widely used as a framework in the development of various activities, both economic activities and non-economic activities.
            Seeing the importance of the furniture industry and many problems faced in its development, encouraging to do research from the standpoint of the Green Chain Management (GCM).


Figure 1. Industrial process hierarchy furniture from materials to the consumer

Discussion

Figure 1. Dynamic models of Indonesian Furniture Industry

            From figure 1 and 2 above can we explained that in developing the Indonesian furniture industry has to do with the approach of the four perspectives: green procurement, green manufacturing, green distribution and reverse logistics. From every perspective consists of several objective which has some performance indicators. As for the indicator-indokatornya can be described in the table below.

Perspective
Indicator
Green Suply Chain Management
The ability of providers to undertake reforestation wood in order to avoid scarcity of raw materials n
Green
Manufacture
The efficiency of energy use in the processing of wood into furniture such as electricity and fuel
Efficient use of raw materials. Each timber must be able to be processed into useful household furniture, this is done to minimize waste
Conformity percentage substance use, wood preservatives. avoid using dyes which have a negative impact on the environment
Human resource management. conduct training for employees related to environmental management
Waste utilization. The liquid waste generated from the manufacturing process of furniture must be in accordance with the concept of environmental impact assessment.
Green
Distribution
Use of packaging that can be recycled
Utility transport in the distribution of products
The accuracy of the amount sent to the customer with a total production

Efficient use of storage in the storage of products
Fuel efficiency in the distribution process
Furniture defective utilization products in storage
Green Costumer and Consumer
Management back to the defective product. expected that the consumer to be able to take advantage of returning the defective product to be something useful. Or the consumer can trade up to the manufacture

Conclusion
            Expected by the criteria drawn up from the table, can be used as a reference in order to realize the Green Chain Management in the field of furniture industry in Indonesia. because in addition to the business aspect, we also need to be able to think about the environmental aspects of the products created.

Rabu, 16 Desember 2015

Hepatitis yang Menampar Muka Kami



Oleh : MUHAMMAD FIRDAUS

Cukup banyaknya penderita hepatitis di IPB tiba-tiba jadi trending topic di berbagai media beberapa hari terakhir. Membuat saya sulit memejamkan mata. Bukan apa-apa, karena baru akhir Nopember lalu ketika saya dapat tugas mempromosikan IPB kepada siswa SMA swasta yang memiliki akreditasi tertinggi di Depok, saat memberikan kata penutup bersama dengan calon Walikota yang baru akan menang Pilkada, Ibu ketua Yayasan tetiba mengambil mik dari saya, dan berpesan “Prof, IPB itu sudah hebaat, tapi saya mau mengingatkan 25 tahun yang lalu saya sering dengar anak IPB kena tifus, hepatitis; mungkin karena kurang gizi ya”. Wahh, pesan Ibu kesampaian, ternyata.

Ya, dari banyak judul di media; semua termasuk Menkes muncul dengan komentar yang hampir sama: sanitasi yang buruk atau kantin yang kumuh. Mahasiswa mengkonsumsi makanan yang tidak higienis karena kantinnya jorok.  Hal yang dibantah secara resmi oleh Humas IPB, seperti di situs detik.com yang meminta maaf atas kesalahan pemberitaan; menampilkan gambar gedung kumuh yang ternyata bukan kantin di dalam kampus. Ya, untuk kantin di dalam kampus, yang saya sendiri hampir setiap hari makan di sana, rasanya sudah jauh lebih higienis dari kantin di Pasar Anyar Bogor, atau bahkan dibandingkan beberapa kantin kampus besar lainnya di Indonesia.

Tapi rasanya akar persoalan utama bukan karena sanitasi yang buruk. Saya coba menilik beberapa fakta yang mungkin bisa menjadi penyebab kejadian tersebut. Pertama, IPB adalah salah satu kampus besar yang diminati oleh siswa SMA yang berasal dari kalangan berpendapatan rendah. Sudah sejak dulu IPB dikenal sebagai “kampus rakyat”. Dengan sistem penerimaan mealalui jalur undangan, yang saat ini diadopsi menjadi sistem nasional, IPB mendapatkan mahasiswa yang berasal dari berbagai pelosok Jawa dan luar Jawa. Sudah sangat banyak cerita mahasiswa IPB yang sukses menjadi pembesar di kancah nasional dan internasional, dulunya adalah anak-anak yang sekolah dengan sepasang sepatu usang dan hanya punya satu baju seragam. Penerima beasiswa Bidik Misi, program beasiswa kebanggan Kementerian Pendidikan, salah satu yang terbesar ada di IPB. Jumlah penerima beasiswa ini bisa mencapai hampir sepertiga dari total sekitar 3.500 yang masuk ke IPB setiap tahunnya. Selain dibebaskan dari biaya kuliah, sejak tahun 2010, setiap mahasiswa mendapatkan tunjangan biaya hidup 600 ribu sebulan. Jumlah ini memang tidak pernah naik, meskipun bila dideflasi tentunya nilai ini setara dengan 300 sampai 400 ribu pada lima tahun yang lalu.

Mahasiswa penerima Bidik Misi biasanya sangat mengandalkan biaya hidup dari uang tersebut. Bahkan tidak jarang, IPB menegur mahasiswa yang mengirimkan sebagian beasiswanya tersebut untuk membantu biaya hidup keluarga di kampungnya; kemudian yang bersangkutan “tunggang langgang” mencari sumber pendapatan lain seperti nyambi memberi les privat. Bisa dibayangkan, bagaimana saat ini hidup dengan 600 ribu sebulan untuk tempat tinggal, foto copi dan makan, di Bogor, yang tercatat sebagai salah satu kota yang mempunyai standar biaya hidup tertinggi di Indonesia. Katakan untuk makan dapat disishkan 400 ribuan per bulan. Berarti seorang penerima bidik misi hanya dapat makan nasi saja dua kali sehari dengan lauk maksimum sayur dan telur. Makan dengan harga 6.000 sampai 7.000 sudah cukup layak bagi seorang mahasiswa. Tapi untuk mendapatkan kantin yang menyediakan menu dengan harga tersebut tapi bersih, apalagi higienis, rasanya agak sulit saat harga-harga barang dan upah yang semakin menggila saat ini. Kantin yang lebih bersih dan higienis di dalam kampus rata-rata menjual satu porsi makan siang dengan harga minimum 8 sampai 12 ribu rupiah.

Bukan hanya persoalan besaran, mahasiswa baru masuk yang mengandalkan Bidik Misi tadi pada tiga bulan pertama datang harus kaget karena ternyata beasiswa tidak langsung diterima. Selalu berulang setiap tahun, proses birokrasi di Jakarta menyebabkan beasiswa mulai bisa diterima bulan Nopember bahkan Desember, padahal mahasiswa sudah mulai kuliah di IPB sejak bulan Agustus. Selalu IPB setiap tahun menawarkan talangan, yang tentu tidak bisa penuh dan  untuk semua penerima beasiswa. Saya sendiri, secara pribadi saat mengajar di kelas sering mengingatkan mahasiswa: “perhatikan teman Anda. Silakan datang ke saya apabila ada teman Anda yang sudah tidak bisa makan karena tidak punya uang. IPB memiliki Lembaga Amil Zakat, dari potongan ZIS dosen dan pegawai”. Jadi tidak sedikit mahasiswa IPB, terutama di tingkat pertama, yang kadang harus makan sekali sehari karena kondisi beasiswa tersebut. Bagaimana tidak hepatitis saat kemudian musim hujan di Bogor tiba?? Rentannya tubuh mahasiswa ditambah karena asupan zat yang kurang baik bagi kesehatan. Pengawet atau pewarna seperti Rhodamin B adalah makanan sehari-hari mahasiswa IPB. Selain mi instan, berbagai jajanan khas Sunda semacam Cimol, Cilok atau Cireng adalah santapan favorit, yang sering dicocol dengan bumbu-bumbu beraneka warna.

Faktor kedua, terdapat sejumlah mahasiswa di IPB yang bukan penerima beasiswa Bidik Misi, tetapi kondisinya sama bahkan lebih memprihatinkan. Bisa jadi karena mahasiswa tidak well-inform saat di SMA, atau pada perjalanannya terjadi kejadian yang menyebabkan kondisi ekonominya berubah, seperti orang tua yang wafat, berhenti kerja atau di-PHK. Kelompok mahasiswa tersebut, bisa jadi berada di tingkat pertama (baru masuk) atau yang sudah di tingkat atas. Persoalan menjadi semakin rumit, karena hukum alam, mahasiswa penerima Bidik Misi atau kelompok ini lah yang paling banyak menjadi aktivis organisasi di kampus. Ya, motivasi untuk menjadi orang besar sering lebih kuat dari dari mahasiswa yang berasal dari keluarga ekonomi susah. Dengan beban perkuliahan dan praktikum di IPB yang mempunyai standar terbaik di Indonesia, ditambah aktivitas ekstrakurikuler tentunya akan memakan energi yang tidak sama dengan anak-anak sebaya yang tidak kuliah. Mungkin inilah faktor lain yang menyebabkan mudahnya mahasiswa terserang penyakit seperti tifus dan hepatitis; kurang gizi tapi aktivitas luar biasa.

Faktor ketiga, di Bogor banyak daerah yang dikenal dengan nama Babakan, yang menurut KBBI diartikan sebagai “dusun yang baru”. Dulu di kampus IPB lama, mahasiswa banyak yang tinggal di Babakan Fakultas, Babakan Peundeuy atau Babakan Pasar. Biasanya  tempat tersebut dihuni oleh mahasiswa yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah. Mahasiswa yang secara ekonomi mampu akan tinggal di daerah Malabar, perumahan Baranangsiang atau sekitar Taman Kencana. Di kampus Dramaga sekarang pun, stratifikasi tempat tinggal terjadi. Sepeti halnya di kampus lama, mahasiswa kurang mampu akan tinggal di daerah dengan nama depan Babakan: Babakan Raya, Babakan Lio atau Babakan Lebak. Tidak semua, namun secara umum dengan biaya sewa kamar setahun kurang dari 2 juta per orang, bisa dibayangkan kondisi tempat tinggal mereka: padat, tanpa ventilasi atau  septic tank yang berada di sisi dapur. Sedangkan mahasiswa yang lebih mampu, akan memilih tinggal di daerah Jalan Perwira atau perumahan-perumahan di sekitar kampus. Lengkaplah sudah: kondisi makan yang kurang gizi, aktivitas luar biasa kemudian beristirahat di kamar kost yang sangat minim kondisinya.

Mencermati beberapa faktor di atas, apa yang kemudian sudah dilakukan IPB? Saya cukup senang dengan salah satu berita hasil visitasi Dinas Kesehatan Kab. Bogor ke asrama mahasiswa IPB. Disebutkan, kondisi asarama tidak jorok, namun kurang rapi. Saya, yang pernah diberi amanah memimpin pengelolaan asrama IPB, menyadari dengan kondisi sekarang tentu bukan yang sangat ideal. Mahasiswa masih tinggal berempat dalam satu kamar. Namun, apabila kebersihan dan ketertiban selalu terjaga, asrama IPB yang tercatat sebagai asrama kampus yang terbesar di Indonesia, merupakan tempat tinggal dengan kenangan terindah selama kuliah.

Idealnya pula, seperti di luar negeri, mahasiswa sampai tamat bisa tinggal di dalam kampus (baca: college). Suatu saat kita bisa harus sampai ke sana. Namun apa yang bisa kita kerjakan sekarang? Tentu menata sanitasi pemukiman dan warunng-warung makan di sekitar kampus. IPB yang memiliki program studi Pengolahan Pangan dan Gizi terbaik di Indonesia pastinya mampu membuat terobosan bagi pedagang untuk menyediakan makanan yang sehat, bergizi namun juga tidak mahal. Di dalam kampus sudah ada warung “semur” (baca serba murah); namun volume yang dapat disediakan masih terbatas. Bantuan alumni juga sudah relatif banyak dalam bentuk beasiswa. Bahkan IPB bisa jadi merupakan kampus dimana beasiswa paling banyak tersedia dari berbagai sumber. Tentu saja dana-dana tersebut bersifat sebagai pelengkap, dan uang bukan satu-satunya faktor penentu seseorang bisa terkena hepatitis; pola atau gaya hidup yang sehat; istirahat yang cukup, olahraga teratur beberapa hal yang perlu dimotivasi kepada semua.

Mencrmati berbagai kondisi di atas, terasa betul perlunya dukungan berbagai pihak untuk menjamin terlaksananya program Pendidikan Tinggi sebagai kunci kemajuan Bangsa. Adanya rencana Pemerintah pada tahun depan menurunkan anggaran bagi Perguruan Tinggi, termasuk dukungan dalam bentuk beasiswa bagi yang kurang mampu, sampai rencana untuk menghapuskan kebijakan Ujian Tulis Masuk Perguruan Tinggi yang gratis, tentunya patut dipertanyakan.

Penulis adalah Guru Besar FEM dan Wakil Ketua LAZ IPB

Senin, 09 November 2015

Moga Menginspirasi

" Berkilaulah.., Kita di lahirkan tidak hanya untuk diri sendiri, namun juga harus mampu menginspirasi "

Motto inilah yang melecut saya untuk ikut mendaftar ke program ini. Selain itu, sewaktu saya mondok di yayasan Muhammadiyah 7 tahun silam, pengasuh pernah memberikan wejangan tentang fadilah berbagi, yaitu "  Ada 2 hal di dunia ini yang ketika dibagi atau diberikan kepada orang lain, maka dia tidak akan berkurang, bahkan akan bertambah berkali lipat, 2 hal tersebut adalah Harta dan Ilmu....
Maka bertambahlah telah keyakinan ini. Namun karena saya kembali menjadi mahasiswa yang notabene harta terbesarnya adalah masih berupa idealisme, maka saya pun akan berbagi dengan sedikit ilmu yang pernah saya pelajari.  Juga, Ada hal lain yang ingin saya tularkan. Saya punya kisah tentang perjuangan Seorang anak yatim piatu dari  desa perbatasan yang mempunyai mimpi untuk mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin ini akan sedikit menginspirasi. Orang bijak berkata,  experience is the best teacher.  
Terlahir di sebuah desa terpencil di pulau Sumatra tepatnya di Desa Kota Padang perbatasan antara Provinsi Bengkulu dengan Sumatera Selatan. Di usia 4 tahun saya ditinggal wafat oleh ayah,  dan di usia 10 tahun harus merelakan ibu dipanggil sang ilahi.  Saat itu saya sedang duduk  di kelas 4 SD. Teman, Bisa kalian bayangkan anak umur sepuluh tahun harus  berjuang tanpa ayah, ibu, dan tanpa ada warisan harta sedikitpun ??? Jangankan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, untuk bertahan hidup saja tidak terbayangkan.
Maka jadilah, setiap pulang sekolah saya harus bekerja serabutan di kebun untuk menjadi buruh potong rumput, pungut kopi, mengantarkan makanan. Hanya demi bayaran sebesar Rp. 2.500,-.  saya harus memikul beban keluarga, karena saya masih punya seorang adik yang berumur 7 tahun dan seorang kakak perempuan yang masih berusia 14 tahun.  Saat itu saya tidak pernah mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk, saya hanya berfikir bagaimana bisa belajar di sekolah, setelah pulang, bagaimana agar mendapatkan sedikit uang untuk makan esok hari.
Tahun 2002,  Allah berkehendak lain.  Saat itu aku duduk di kelas 5 SD. Bu Darmawati sedang menjelaskan tentang  pelajaran matematika,  tiba-tiba saya di panggil ke ruang kepala sekolah.  Ternyata pihak sekolah, tanpa sepengetahuanku menghubungi sebuah Yayasan di Kota Kabupaten untuk mendaftarkan namaku.
" Jay, besok kita berangkat ke kota Curup. Kamu akan sekolah disana. Jangan cemaskan tentang biaya. Semua sudah di atur. Semua dokumen siang ini juga bapak siapkan. Belajarlah yang baik.., raih mimpi-mimpimu... "  terang pak Asmoni sang kepala sekolah. 
Sungguh Kuasa Allah begitu besar. Di Yayasan Panti Asuhan Aisyiyah Muhammadiyah itu saya belajar banyak hal. Tetang agama, budi pekerti, tentang kedisplinan, tolerasi, persaudaraan, keterampilan hidup.
Suatu subuh, Bang Mardi sang pengasuh asrama berpesan " Adik-adikku.., Berkilaulah.., mungkin kita di lahirkan dengan segala keterbatasan, namun itu tidak akan menghalangi kita untuk bermimpi besar. raihlah mimpi-mimpimu, tapi ingat hidup ini bukan untuk diri sendiri, namun juga mampu berbuat banyak untuk orang lain. khoirunnas anfa'uhum linnas, jadilah inspirasi ..."
Terinspirasi oleh abang pengasuh, saya pun menuliskan mimpi-mimpi saya dalam kertas dan menempalkannya di dinding kamar saya. Saya percaya dengan menuliskan mimpi-mimpi tersebut, berusaha keras mengejarnya, berbuat baik untuk orang lain, dan terus berdoa kepada Allah, maka mimpi-mimpi tersebut akan dapat tercapai. Hingga hari ini, satu persatu mimpi-mimpi tersebut dapat terwujud lebih cepat dan jauh lebih indah dibanding yang saya bayangkan.
Saat SMP dan SMA saya berkesempatan dapat beasiswa penuh dari Bupati Kabupaten Rejang Lebong. Saat Kuliah S1 saya mendapat beasiswa penuh dari Bupati Kabupaten Kepahiang. Dan sekarang saya berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program pasca sarjana fakultas MIPA Instutut Pertanian Bogor (IPB) kelas internasional Program Studi Magister Science in Information Tecknology for Natural Resources Management .
Sebelum memutuskan untuk kembali belajar, saya juga pernah bekerja sebagai wartawan lepas sebuah surat kabar, kemudian menjadi asisten dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Provinsi Bengkulu selama 2 tahun, selain itu juga pernah mencoba usaha, mulai dari warnet, rental PS, percetakan dan foto kopi hingga mencoba belajar di usaha pengembang perumahan, walapun belum maksimal. Namun inilah proses belajar.
Tanpa bermaksud mengharapkan iba, saya tulis cerita singkat tentang perjalanan saya ini murni untuk menginspirasi dan berbagi semangat untuk mengejar mimpi.  Saya berkeyaninan bahwa semua anak mempunyai hak yang sama untuk bermimpi dan meraih mimpi itu tanpa tebatas jurang ekonomi, strata sosial, suku ras dan agama. Saya ingin satu visi yaitu “ Membaikkan Indonesia dengan mimpi mimpi besar, prestasi dan dengan moral berbudi dan peduli ”.  Ini adalah cita-cita yang membutuhkan “nafas panjang”.
Menilik dari Pengalaman inilah yang menjadi pemicu dan passion saya untuk berbagi semangat. Di beberapa kelas tempat yang mengajar, saya selalu menularkan semangat untuk bermimpi dan mengejarnya. Saya berikan dengan metode ceramah untuk menggali dan “mengompori” teman-teman agar mampu berimajinasi luas untuk bermimpi dan mewujudkannya. Seusai memberi materi, saya selalu mengajak teman-teman untuk menuliskan mimpi-mimpi yang akan dicapai dalam beberapa tahun yang akan datang. Setelah itu, saya mengajak teman-teman tersebut untuk menutup mata selama 1 menit dan mencoba membayangkan seandainya mimpi-mimpi tersebut tercapai. Sungguh kebahagiaan akan datang melingkupi seandainya mimpi tersebut terpenuhi. Dan saya tutup dengan mengajak teman-teman untuk berikrar dan berteriak lantang mengucapkan mimpi-mimpinya agar kepercayaan diri untuk mewujudkan mimpi-mimpi tersebut datang dan mengakar kuat di hati dan pikiran mereka. Saya selalu merinding setiap kali mendengarkan ikrar dari peserta didikku. 

Pemerataan Pendidikan Masih Jauh

Sesuai ikrar para founding father bangsa ini yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu " mencerdaskan kehidupan bangsa ". Ini berarti, Janji pendidikan itu ditujukan untuk semua warga bangsa Indonesia dari sabang sampai maraoke, tanpa melihat latar belakang daerah, ekonomi, strata sosial, ras, agama.

Namun Saat ini, harus kita akui bahwa pendidikan di Indoensia itu masih belum merata.  Fasilitas dan akses pendidikan yang memadai masih terpusat di Jawa dan kota-kota besar. Sedangkan di daerah-daerah terluar dan terdalam, fasilitas pendidikan masih jauh dari kata memadai. Seperti contoh di pedalaman belitong, pedalaman papua, atau sebuah kecamatan di pulau enggano Provinsi bengkulu, Jangankan untuk akses informasi berupa komputer dan internet,  jaringan listrik saja belum ada. Suasana belajar masih jauh dari kata nyaman, di saat murid-murid di pulau jawa bisa nyaman dengan fasilitas AC, lantai keramik dan dinding bambu.

Memang hal ini juga dilatarbelakangi oleh Wilayah Indonesia yang luas membuat sebagian warga tersebut tidak dapat menikmati proses pendidikan dan fasilitas lainnya yang diberikan oleh pemerintah kepada anak bangsa. Harus diakui juga bahwa faktor sarana dan prasarana penghubung seperti jalan, jembatan dan lain sebagainya memberikan pengaruh terhadap kurangnya akses yang dapat dirasakan oleh penduduk di daerah terpencil.

Selain fasilitas, aspek lain yang menjadi kendala juga berkaitan dengan para pendidiknya itu sendiri. Di dearah terpencil dan terluar distibusi guru yang berkualitas dan profesional masih sangat kurang. Mungkin, ini disebabkan kesejahteraan guru, apalagi yang non PNS di dearah belum memadai. Sehingga kesadaran para guru yang berada di perkotaan untuk mengabdi di pedesaan masih sangat rendah.

Maka harus Harus ada upaya untuk menciptakan pemerataan, misalnya dengan mendirikan pusat-pusat keunggulan pendidikan berbagai daerah, terutama di Indonesia Tengah dan Indonesia Timur. Harus ada upaya memenuhi kebutuhan sekolah di berbagai tingkatan, terutama di tingkat menengah. Selain itu, harus dipikirkan untuk memastikan bahwa masyarakat dari berbagai tingkatan ekonomi dapat menjangkau pendidikan yang berkualitas. Selain itu hendaknya ada pembinaan rutin terhadap guru-guru pedesaan dan daerah terpencil.

Untuk mengentaskan permasalahan ini, kita tidak bisa hanya mengadalkan pemerintah saja selaku pemangku kebijakan. Namun selaku warga bangsa, apalagi kami kalangan mahasiswa yang konon katanya adalah kaun terdidik, turut bertanggung jawab turut ambil bagian mencerdaskan bangsa ini dengan menyebarkan ilmu yang sudah didapat kepada anak-anak yang belum mendapat akses informasi dan pendidikan yang memadai tersebut.

Ke depan, saya bermimpi bahwa semua anak-anak di Indonesia dari sabang sampai maraoke dapat mengenyam pendidikan yang lebih layak dengan fasilitas yang memadai. Saya juga ingin terlibat langsung dalam proses mendidik. Mendidik tidak hanya terkotak dalam kelas, sekolah, tapi mendidik bisa melalui berbagai cara. Semoga, suatu saat sepuluh atau lima belas tahun yang akan datang, saat output pendidikan sudah dapat kita lihat, kita dapat berkata...

"  Saya ikut hadir, saya terlibat dalam proses itu. Sekecil apapun saya ikut mendidik generasi lebih baik. saya sada di sana...Saya ikut melahirkan generasi baru dan ikut berkontribusi membuat wajah Indonesia yang lebih cemerlang, dan membanggakan..."






Selasa, 26 Agustus 2014

Aku Akan Tetap Disini

Siang pasti digantikan malam
Sekeras apapun siang bertahan
Matahari pasti tumbang
Dan gelap menyelimuti
Siang pasti pergi

Kelopak bunga mawar pasti rontok
Sekeras apapun dia ingin mekar lama
Pasti tiba masanya layu
Dan tangkai2 membisu
Bunga mawar pasti pergi

Hujan pasti reda
Selama apapun dia hendak turun
Pasti tiba masanya habis
Dan menyisakan basah di halaman
Hujan pasti pergi

Maka
Apalagi urusan perasaan
Cinta bisa berganti benci
Percaya memudar berganti kusam ragu
Pun komitmen menipis berubah jadi lupa

Tapi aku akan tetap di sini
Meyakini bahwa
Besok pagi, malam pun akan berganti siang
Mawar baru akan merekah ulang
Dan hujan berikutnya pasti kan datang

Sabtu, 23 Agustus 2014

Emas Tetaplah Emas

Seorang murid dengan karakter yang cemerlang akan selalu datang dari tempat yang cemerlang. Sesederhana apapun  tempatnya, tapi menghadirkan proses pendidikan yang baik dari para pendidik yang tulus dan berdedikasi tinggi.
Sebaliknya murid dengan karakter yang cemerlang tidak akan pernah dilahirkan dari sekolah-sekolah dengan gedung megah, tapi di penuhi dengan tenaga pendidik yang rakus dengan uang. Hingga urusan jalan-jalan, dan pas foto jadi ajang bisnis. Nilai-nilai dijajah dengan murahnya. Bahkan di pasang tarif layaknya mainan anak-anak di pasar.

Haiii teman-teman. Menyenangkan menyapa semua.  Kembali bersua. Semoga dengan energi  tak terbilang.
Saya sudah lama tak menulis. Terakhir menulis mungkin sekitar 2 tahun yang lalu. Namun belakangan ada sesuatu yang merisaukan hati. Sesuatu yang membuat cemas, macam di pukul-pukul pelepah daun kelapa. Tuk..tuk..tuk,  atau macam menyeberang sungai, persis di tengah sungai perahunya bocor. Kembali ke seberang cadas tak kan sempat, memaksa terus pastilah tenggelam. Sehingga semangat menulisku kembali muncul. Setidaknya dengan menulis aku bisa berbagi dengan semua.

Apa pasal ?? ahh.., kalian tahulah saya  tidak cemas karena belakangan  ini melihat profil seseorang di aplikasi line. Ada yang cantik, berkerudung lembut, berwajah cerdas serta shaleha sekali nampaknya. Belakangan menyenangkan chatting dengannya.. (hahaha gagal focus ini kayaknya)

Aahh.., tentu kalian juga tahulah saya tak cemaskan soal harta benda, tidak cemas meski bersandal jepit butut, kemana-mana naik angkutan umum, bertahun-tahun ngontrak, makan di warung pinggiran. Insya Allah tidak cemas soal itu. Karena itu Cuma sebuah pilihan, besok lusa kalau kalian memilih kaya semoga itu diimbangi dengan kaya di hati, kaya di tabiat dan kaya di perangai.

Ok, ini saatnya serius !!!

Teman-teman, yang saya cemaskan adalah hal-hal yang terjadinya di sekitar. Apakah kejujuran dan integritas hari ini tak ada harganya lagi?? Padahal, makin hari peran guru, dosen (para pendidik) sangatlah penting. Saya yakin betul kekuatan para pendidik sebagai pengubah arah bangsa ini.  Pada para pendidiklah kita titipkan persiapan masa depan republik ini. Di sekolah-sekolah, di universitas-universitas, di institusi pendidikan itu adalah wajah masa depan kita. Masa depan negeri ini.

Namun kita melihat realita hari ini, muncul banyak masalah disitu. Ada oknum yang bermasalah. Mulai dari masalah kualitas sampai pada masalah moralitas. Sering kali sebuah insitusi pendidikan sibuk melakukan pembangunan fisik, tanpa di barengi dengan pembangunan mental yang memadai.

Kawan, Padahal ini yang harus digaribawahi bahwa seorang murid dengan karakter yang cemerlang akan selalu datang dari tempat yang cemerlang. Sesederhana apapun  tempatnya. Meskipun dengan atap rumbia, dinding pelupu dan lantai tanah tapi menghadirkan proses pendidikan yang baik dari para pendidik yang tulus dan berdedikasi tinggi. Insya Allah harapan ada disitu.

Sebaliknya murid dengan karakter yang cemerlang tidak akan pernah dilahirkan dari sekolah-sekolah dengan gedung megah, tapi di penuhi dengan tegana pendidik yang rakus dengan uang. Hingga urusan jalan-jalan, dan pas foto jadi ajang bisnis. Nilai-nilai dijajah dengan murahnya. Bahkan di pasang tarif layaknya mainan anak-anak di pasar.

Kalau sebuah institusi pendidikan dibangun hanya untuk mengantisipasi peluang pasar, orientasi bisnis, yaitu hanya sekedar menjajakan ijazah. Maka kacau sudah.
Naah.., kemudian siapa yang harus disalahkan??

Ingatlah kawan, kebobrokan itu terjadi bukan hanya karena orang jahat yang semakin banyak. Tapi juga disebabkan karena ada orang baik yang lebih memilih diam dan mendiamkan. Ada orang yang seharusnya mampu mencegah itu dan mengambil tindakan nyata. Tapi mereka lebih memilih diam, menutup mata, telinga dan hati mereka. Lebih memlih tidur nyenyak di bilik masing-masing.

Inilah raelita yang ada. Lantas apa yang harus dilakukan?? Kalau kita mampu merubah itu, dan kebetulan kita berada dekat dengan dunia pendidikan. Maka jangan memilih diam. Jika mampu merubah dengan tindakan. Lakukakan. Jika tidak mulailah dari diri sendiri untuk berdedikasi.