Jumat, 25 Maret 2011

Tangisnya Mengundang Hujan

Kesenangan melingkupi rumah kami. Beduk ditabuh bertalu-talu. Dalam irama berupa-rupa. Sedikit kasidah, menyerupai orkes melayu. Dangdut sedikit ngerock, pop mellow juga ada. Bukankah tidak ada standar baku dalam hal menabuh beduk? bahkan di mushollah sebelah gang, ada yang pakai gaya jazz full-swing segala, ada juga di surau pojok jalan, pakai gaya pop rege ala Bob Marley.
Malam ini : malam takbiran
Malam kemenangan, kami menyebutnya. Kami semua berlomba menggemakan asma Tuhan. Mulut-mulut mendesah atau malah berteriak seperti adik-adik asramaku yang berebut mik.
Tidak kawan, cerita ini tidak berbicara tentang takbiran, beduk, pop, rock, dangdut, rege atau lebih sempitnya dunia musik. Tidak.
Kali ini aku akan membicarakan tentang rumahku. Ya rumahku. Sebuah yayasan panti asuhan di kota idaman, nan sejuk sana. Tempat anak-anak tidak beruntung ditampung disana. Masa-masa dimana mereka seharusnya bisa hidup indah, masa dimana mereka seharusnya bercengkeramah dengan kedua orang tuanya sambil memamerkan pontennya hari ini, lalu dibelai sembari ayahnya berkata “ ayah bangga padamu, nak”.
Di bagian dalam, rumah kami lebih “bersinar”. Sempurna dengan sinar yang lebih terang. Adik-adik asramaku,  berlarian sibuk memamerkan baju baru, sandal baru, peci baru dan sarung baru untuk  dipakai shalat Id esok. Mereka tidak peduli dengan teriakanku supaya diam, karena aku sedang asyik mengejar khatam qur’anku pada bulan Ramadhan kali ini. Mereka sedang asyik jahil-mejawil, dorong mendorong. Sambil mulut terus mengunyah makanan kecil pemberian tamu tadi sore. Mereka tertawa.
Sadaqallahul’azim..
Alhamdulillah aku bisa mengkhatamkan qur’an walau dengan background sound suara riuh ribut mereka.
Sayang, seribu kali sayang, ketika malam ini seluruh bumi buncah oleh suka cita. Aku melihat kesedihan yang memancar di mata salah seorang adikku. Namanya Anggie, Anggi Saputra lengkapnya. Bocah tujuh tahun ini sedang duduk di tangga tiga tingkat di depan kamar kami. Dia duduk sambil memeluk kedua lulutnya dan kepalanya menunduk ke bawah. Air mata menetes perlahan.
Bocah kecil itu menatap kosong keramaian di halaman. Mata indahnya redup, menyimak teman-temannya yang asyik berlari-lari, bersorak sorai sambil menyalakan kembang api kecil.
Anggi mendesah ke langit-langit malam.
bocah kecil itu sedih, dia tidak tahu  apa itu lebaran. Ia tidak mengerti ketika teman-temannya ramai bercerita tentang makan besar esok hari. Teman-temannya ramai bercerita tentang hadiah.
Anggi rindu ayah-bundanya. Itulah yang ia paham. Tapi bagaimalah ia akan bertemu dengan ayah-bundanya jika bocah kecil ini bahkan sejak lahir tidak mengenalnya. Tiada foto walau sehelai yang ia simpan. Jangankan wajah, suarapun Anggi tak pernah dengar. Bahkan ia ditemukan  oleh seorang pengemis tua yang kebetulan melintas diperempatan lampu merah. Tidak sengaja ia melihat  seorang bocah tergeletak di perempatan lampu merah itu sambil menangis. Umur bocah waktu itu belum genap 3 tahun. Di malam hujan lebat, petir menyambar-nyambar, si-pengemis tua mengantarkan Anggi ke Yayasan Panti Asuhan tempat kami dibesarkan. 
Esoknya, pihak Panti menyebarkan foto Anggi di seluruh Koran dan Stasiun TV di Provinsi kami, barang kali ada orang tua   yang kehilangan anak. Satu minggu berlalu, satu bulan berjalan, tidak ada satu orang-pun datang ke asrama kami yang mengaku sebagai orang tua, ataupun kerabat dari bocah itu.
Ya, Allah sungguh tega sekali. Apa salah Anggi, sehingga dia di buang sedemikian rupa. Salahkah ia bila terlahir tanpa diinginkan.
Maka  seluruh pengurus Asrama sepakat untuk membesarkan bocah itu, serta pengasuh menganggap Anggi sebagai anaknya sendiri.
Empat tahun berlalu,  malam ini Anggi bertanya tentang banyak hal. Sibuk bertanya tentang ayah-bundanya. Sibuk mengeluh. Sibuk protes, kenapa Pengasuh Asrama, malah sibuk mencatat dan membagikan kiriman parsel lebaran. Tidak mendengarnya keluhannya. Merasa diacuhnya, dia menyingkir dengan hati kecewa.
Aku mendekat. “ Anggi ingin sendiri” katanya.
Aku mendekapnya. Mengelus kepalanya. “ Semua berjalan sesuai dengan rencana-Nya,” aku bilang.
Bang, Anggi ingin bertanya langsung kepada Tuhan, tanpa perantara, “ katanya.
Maka kepala mendongkak ke atas, mencari muka Tuhan yang konon kata ada di mana-mana. Demi Tuhan, sungguh menggetarkan sekali mendengar pertanyaan yang polos itu. Anggi menginginkan jawaban yang sederhana. Tidak lebih, tidak kurang. Karena Engkau selalu menjawab setiap pertanyaan. Tapi Anggi tidak tahu itu, ia terlampau kecil untuk mengerti. Dia sedih, maka perlahan air mata menetes di pipinya.
Angin semilir yang lembut justru menikam perasaannya.
Setelah kian lama menunduk, pegal. Kepalanya mendongak. “ bang, kalau orang lain punya ayah, kenapa Anggi tidak ? kalau anak lain punya ibu, kenapa Anggi tidak ? Anggi tidak berharap banyak, Anggi hanya ingin, saat puasaku genap 30 hari, Anggi hanya ingin bercerita kepada ayah-bunda, bahwa Anggi akan menjadi anak yang sholeh. Anggi tidak berharap hadiah seperti yang lain, “.
Ya Tuhan, anak sekecil ini mengajukan pertanyaan yang sangat sulit untuk ku jawab. Karena aku sendiri memendam pertanyaan tersebut dari 10 tahun yang lalu. Sampai sekarang belum jua kutemukan jawabannya. Jadi penjelasan apa yang harus ku jelaskan.
“ Anggi, ayah-Ibu Anggi pasti sangat bangga pada Anggi, yakinlah, mereka sangat menyayangimu. Anggi harus rajin belajar ya.., rajin shalat, mengaji dan berdoa, maka suatu saat Anggi pasti akan tahu sendiri jawaban dari pertanyaan Anggi tadi, “ hanya itu yang dapat kuucapkan.
Dan sempurna, saat bulir pertama air mata kami jatuh, seketika petir menyambar terang menyilaukan. Disusul Guntur menggelegar. Langit indah terusir sudah. Bintang gemintang lenyap tak berbekas, digantikan angin kencang. Dan sekejap hujan turun dengan lebatnya. Membasuh kota kami, membasahi rumah kami. Dan aku harus bergegas mencari ember guna menampung air hujan yang jatuh lewat celah-celah atap seng yang bocor.
Takbiran di jalan sudah bubar. Orang sibuk berlindung dari derasnya hujan. Beduk-beduk ditinggalkan, galon plastik dilempar sembarangan. Sarung-sarung diangkat, digunakan untuk menutup kepala. Peci miring, semakin miring. Lihatlah hujan merusak makna lebaran tahun ini.
Anggi tidak berlindung, ia tidak menghindar. Bocah kecil itu masih diam mendekap erat kedua lututnya. Tubuhnya basah, sebasah perasaannya. Terisak.
Pengasuh Panti tadi pagi marah kepadanya, Anggi menyesal. Bukankah pengasuh Panti sudah amat baik selama ini. Banyak bercerita, banyak tertawa, mengajarkan mengaji, membaca. Kenapa Anggi malah sibuk bertanya soal ayah-bunda. kenapa  Anggi bertanya tentang itu setiap hari, tiap bulan, oi..setiap tahun malah. Sudah seperti minum obat. Seharusnya Anggi membantu Pengasuh membersihkan halaman, membuang sampah. Bukankah Anggi anak yang baik.
Tapi ia terlanjur menonton iklan di TV yang menayangkan kebahagiaan mereka  yang menyambut lebaran bersama kedua orang tua mereka. Pergi bersama shalat Id di lapangan. Berpegangan tangan, berjalan bersisian. Salam, saling berpelukan setelah shalat Id. Oi.. sungguh cemburu ia.
Anggi menangis lagi, sebenarnya urusannya malam ini amat sederhana. Ia rindu ayah-bunda.
Maka ketahuilah kawan, malam itu dan juga sepanjang malam sesudahnya, kota sejuk kami selalu turun hujan lebat ketika bocah kecil polos itu menangis. Itulah rahasia Tuhan, tangis bocah itu bisa mengudang hujan.

Note : tulisan ini seutuhnya aku dedikasikan buat adik-adikku yang sedang tersenyum cerah disana. Secerah sinar yang selalu terang benderang di atas rumah asrama kita. Aku mencintai kalian karena Allah.

1 komentar:

  1. syukron jay....
    bagus bangt dh....
    dyn sampai tk sanggup membacanya sampai habizz, cz bgtu menyentu qalbu....

    BalasHapus