Rabu, 23 Desember 2015

GREEN CHAIN MANAGEMENT FOR FURNITURE INDUSTRIES

Jailani1, G051150041
Department of Information Technology For Natural Resources Management,
Bogor Agricultural University, Jalan Raya Tajur Km.6, Bogor 16720, West Java, Indonesia

Background
                Processing industry has an important role for the Indonesian economy. Some sectors of the industry is a major source of state revenue, one of which is the furniture industry.
            Indonesian furniture industry development can not be separated from the support of Indonesia's natural resources are abundant in the form of vast forests that supply raw materials furniture industry and other industries. Support natural resources has not made such a large furniture industry is growing rapidly. According to the Ministry of Industry (2008), in recent years based on the data, the timber industry and forest products have been growing rapidly in competitor countries such as China, Malaysia and Vietnam that do not have their own raw material. Decreased production of furniture industry caused by factors limited raw materials. The result of the further degradation of Indonesia's forests and supply chain management is not good.
            In addition to the study of SCM, public attention is also drawn to environmental issues, known as the Green Chain Management (GCM). Environmental issues become an important global issue in recent years. In connection with the increase in population and industrial impact on the environment, environmental issues are becoming more frequent attention. The concept of sustainability has been widely used as a framework in the development of various activities, both economic activities and non-economic activities.
            Seeing the importance of the furniture industry and many problems faced in its development, encouraging to do research from the standpoint of the Green Chain Management (GCM).


Figure 1. Industrial process hierarchy furniture from materials to the consumer

Discussion

Figure 1. Dynamic models of Indonesian Furniture Industry

            From figure 1 and 2 above can we explained that in developing the Indonesian furniture industry has to do with the approach of the four perspectives: green procurement, green manufacturing, green distribution and reverse logistics. From every perspective consists of several objective which has some performance indicators. As for the indicator-indokatornya can be described in the table below.

Perspective
Indicator
Green Suply Chain Management
The ability of providers to undertake reforestation wood in order to avoid scarcity of raw materials n
Green
Manufacture
The efficiency of energy use in the processing of wood into furniture such as electricity and fuel
Efficient use of raw materials. Each timber must be able to be processed into useful household furniture, this is done to minimize waste
Conformity percentage substance use, wood preservatives. avoid using dyes which have a negative impact on the environment
Human resource management. conduct training for employees related to environmental management
Waste utilization. The liquid waste generated from the manufacturing process of furniture must be in accordance with the concept of environmental impact assessment.
Green
Distribution
Use of packaging that can be recycled
Utility transport in the distribution of products
The accuracy of the amount sent to the customer with a total production

Efficient use of storage in the storage of products
Fuel efficiency in the distribution process
Furniture defective utilization products in storage
Green Costumer and Consumer
Management back to the defective product. expected that the consumer to be able to take advantage of returning the defective product to be something useful. Or the consumer can trade up to the manufacture

Conclusion
            Expected by the criteria drawn up from the table, can be used as a reference in order to realize the Green Chain Management in the field of furniture industry in Indonesia. because in addition to the business aspect, we also need to be able to think about the environmental aspects of the products created.

Rabu, 16 Desember 2015

Hepatitis yang Menampar Muka Kami



Oleh : MUHAMMAD FIRDAUS

Cukup banyaknya penderita hepatitis di IPB tiba-tiba jadi trending topic di berbagai media beberapa hari terakhir. Membuat saya sulit memejamkan mata. Bukan apa-apa, karena baru akhir Nopember lalu ketika saya dapat tugas mempromosikan IPB kepada siswa SMA swasta yang memiliki akreditasi tertinggi di Depok, saat memberikan kata penutup bersama dengan calon Walikota yang baru akan menang Pilkada, Ibu ketua Yayasan tetiba mengambil mik dari saya, dan berpesan “Prof, IPB itu sudah hebaat, tapi saya mau mengingatkan 25 tahun yang lalu saya sering dengar anak IPB kena tifus, hepatitis; mungkin karena kurang gizi ya”. Wahh, pesan Ibu kesampaian, ternyata.

Ya, dari banyak judul di media; semua termasuk Menkes muncul dengan komentar yang hampir sama: sanitasi yang buruk atau kantin yang kumuh. Mahasiswa mengkonsumsi makanan yang tidak higienis karena kantinnya jorok.  Hal yang dibantah secara resmi oleh Humas IPB, seperti di situs detik.com yang meminta maaf atas kesalahan pemberitaan; menampilkan gambar gedung kumuh yang ternyata bukan kantin di dalam kampus. Ya, untuk kantin di dalam kampus, yang saya sendiri hampir setiap hari makan di sana, rasanya sudah jauh lebih higienis dari kantin di Pasar Anyar Bogor, atau bahkan dibandingkan beberapa kantin kampus besar lainnya di Indonesia.

Tapi rasanya akar persoalan utama bukan karena sanitasi yang buruk. Saya coba menilik beberapa fakta yang mungkin bisa menjadi penyebab kejadian tersebut. Pertama, IPB adalah salah satu kampus besar yang diminati oleh siswa SMA yang berasal dari kalangan berpendapatan rendah. Sudah sejak dulu IPB dikenal sebagai “kampus rakyat”. Dengan sistem penerimaan mealalui jalur undangan, yang saat ini diadopsi menjadi sistem nasional, IPB mendapatkan mahasiswa yang berasal dari berbagai pelosok Jawa dan luar Jawa. Sudah sangat banyak cerita mahasiswa IPB yang sukses menjadi pembesar di kancah nasional dan internasional, dulunya adalah anak-anak yang sekolah dengan sepasang sepatu usang dan hanya punya satu baju seragam. Penerima beasiswa Bidik Misi, program beasiswa kebanggan Kementerian Pendidikan, salah satu yang terbesar ada di IPB. Jumlah penerima beasiswa ini bisa mencapai hampir sepertiga dari total sekitar 3.500 yang masuk ke IPB setiap tahunnya. Selain dibebaskan dari biaya kuliah, sejak tahun 2010, setiap mahasiswa mendapatkan tunjangan biaya hidup 600 ribu sebulan. Jumlah ini memang tidak pernah naik, meskipun bila dideflasi tentunya nilai ini setara dengan 300 sampai 400 ribu pada lima tahun yang lalu.

Mahasiswa penerima Bidik Misi biasanya sangat mengandalkan biaya hidup dari uang tersebut. Bahkan tidak jarang, IPB menegur mahasiswa yang mengirimkan sebagian beasiswanya tersebut untuk membantu biaya hidup keluarga di kampungnya; kemudian yang bersangkutan “tunggang langgang” mencari sumber pendapatan lain seperti nyambi memberi les privat. Bisa dibayangkan, bagaimana saat ini hidup dengan 600 ribu sebulan untuk tempat tinggal, foto copi dan makan, di Bogor, yang tercatat sebagai salah satu kota yang mempunyai standar biaya hidup tertinggi di Indonesia. Katakan untuk makan dapat disishkan 400 ribuan per bulan. Berarti seorang penerima bidik misi hanya dapat makan nasi saja dua kali sehari dengan lauk maksimum sayur dan telur. Makan dengan harga 6.000 sampai 7.000 sudah cukup layak bagi seorang mahasiswa. Tapi untuk mendapatkan kantin yang menyediakan menu dengan harga tersebut tapi bersih, apalagi higienis, rasanya agak sulit saat harga-harga barang dan upah yang semakin menggila saat ini. Kantin yang lebih bersih dan higienis di dalam kampus rata-rata menjual satu porsi makan siang dengan harga minimum 8 sampai 12 ribu rupiah.

Bukan hanya persoalan besaran, mahasiswa baru masuk yang mengandalkan Bidik Misi tadi pada tiga bulan pertama datang harus kaget karena ternyata beasiswa tidak langsung diterima. Selalu berulang setiap tahun, proses birokrasi di Jakarta menyebabkan beasiswa mulai bisa diterima bulan Nopember bahkan Desember, padahal mahasiswa sudah mulai kuliah di IPB sejak bulan Agustus. Selalu IPB setiap tahun menawarkan talangan, yang tentu tidak bisa penuh dan  untuk semua penerima beasiswa. Saya sendiri, secara pribadi saat mengajar di kelas sering mengingatkan mahasiswa: “perhatikan teman Anda. Silakan datang ke saya apabila ada teman Anda yang sudah tidak bisa makan karena tidak punya uang. IPB memiliki Lembaga Amil Zakat, dari potongan ZIS dosen dan pegawai”. Jadi tidak sedikit mahasiswa IPB, terutama di tingkat pertama, yang kadang harus makan sekali sehari karena kondisi beasiswa tersebut. Bagaimana tidak hepatitis saat kemudian musim hujan di Bogor tiba?? Rentannya tubuh mahasiswa ditambah karena asupan zat yang kurang baik bagi kesehatan. Pengawet atau pewarna seperti Rhodamin B adalah makanan sehari-hari mahasiswa IPB. Selain mi instan, berbagai jajanan khas Sunda semacam Cimol, Cilok atau Cireng adalah santapan favorit, yang sering dicocol dengan bumbu-bumbu beraneka warna.

Faktor kedua, terdapat sejumlah mahasiswa di IPB yang bukan penerima beasiswa Bidik Misi, tetapi kondisinya sama bahkan lebih memprihatinkan. Bisa jadi karena mahasiswa tidak well-inform saat di SMA, atau pada perjalanannya terjadi kejadian yang menyebabkan kondisi ekonominya berubah, seperti orang tua yang wafat, berhenti kerja atau di-PHK. Kelompok mahasiswa tersebut, bisa jadi berada di tingkat pertama (baru masuk) atau yang sudah di tingkat atas. Persoalan menjadi semakin rumit, karena hukum alam, mahasiswa penerima Bidik Misi atau kelompok ini lah yang paling banyak menjadi aktivis organisasi di kampus. Ya, motivasi untuk menjadi orang besar sering lebih kuat dari dari mahasiswa yang berasal dari keluarga ekonomi susah. Dengan beban perkuliahan dan praktikum di IPB yang mempunyai standar terbaik di Indonesia, ditambah aktivitas ekstrakurikuler tentunya akan memakan energi yang tidak sama dengan anak-anak sebaya yang tidak kuliah. Mungkin inilah faktor lain yang menyebabkan mudahnya mahasiswa terserang penyakit seperti tifus dan hepatitis; kurang gizi tapi aktivitas luar biasa.

Faktor ketiga, di Bogor banyak daerah yang dikenal dengan nama Babakan, yang menurut KBBI diartikan sebagai “dusun yang baru”. Dulu di kampus IPB lama, mahasiswa banyak yang tinggal di Babakan Fakultas, Babakan Peundeuy atau Babakan Pasar. Biasanya  tempat tersebut dihuni oleh mahasiswa yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah. Mahasiswa yang secara ekonomi mampu akan tinggal di daerah Malabar, perumahan Baranangsiang atau sekitar Taman Kencana. Di kampus Dramaga sekarang pun, stratifikasi tempat tinggal terjadi. Sepeti halnya di kampus lama, mahasiswa kurang mampu akan tinggal di daerah dengan nama depan Babakan: Babakan Raya, Babakan Lio atau Babakan Lebak. Tidak semua, namun secara umum dengan biaya sewa kamar setahun kurang dari 2 juta per orang, bisa dibayangkan kondisi tempat tinggal mereka: padat, tanpa ventilasi atau  septic tank yang berada di sisi dapur. Sedangkan mahasiswa yang lebih mampu, akan memilih tinggal di daerah Jalan Perwira atau perumahan-perumahan di sekitar kampus. Lengkaplah sudah: kondisi makan yang kurang gizi, aktivitas luar biasa kemudian beristirahat di kamar kost yang sangat minim kondisinya.

Mencermati beberapa faktor di atas, apa yang kemudian sudah dilakukan IPB? Saya cukup senang dengan salah satu berita hasil visitasi Dinas Kesehatan Kab. Bogor ke asrama mahasiswa IPB. Disebutkan, kondisi asarama tidak jorok, namun kurang rapi. Saya, yang pernah diberi amanah memimpin pengelolaan asrama IPB, menyadari dengan kondisi sekarang tentu bukan yang sangat ideal. Mahasiswa masih tinggal berempat dalam satu kamar. Namun, apabila kebersihan dan ketertiban selalu terjaga, asrama IPB yang tercatat sebagai asrama kampus yang terbesar di Indonesia, merupakan tempat tinggal dengan kenangan terindah selama kuliah.

Idealnya pula, seperti di luar negeri, mahasiswa sampai tamat bisa tinggal di dalam kampus (baca: college). Suatu saat kita bisa harus sampai ke sana. Namun apa yang bisa kita kerjakan sekarang? Tentu menata sanitasi pemukiman dan warunng-warung makan di sekitar kampus. IPB yang memiliki program studi Pengolahan Pangan dan Gizi terbaik di Indonesia pastinya mampu membuat terobosan bagi pedagang untuk menyediakan makanan yang sehat, bergizi namun juga tidak mahal. Di dalam kampus sudah ada warung “semur” (baca serba murah); namun volume yang dapat disediakan masih terbatas. Bantuan alumni juga sudah relatif banyak dalam bentuk beasiswa. Bahkan IPB bisa jadi merupakan kampus dimana beasiswa paling banyak tersedia dari berbagai sumber. Tentu saja dana-dana tersebut bersifat sebagai pelengkap, dan uang bukan satu-satunya faktor penentu seseorang bisa terkena hepatitis; pola atau gaya hidup yang sehat; istirahat yang cukup, olahraga teratur beberapa hal yang perlu dimotivasi kepada semua.

Mencrmati berbagai kondisi di atas, terasa betul perlunya dukungan berbagai pihak untuk menjamin terlaksananya program Pendidikan Tinggi sebagai kunci kemajuan Bangsa. Adanya rencana Pemerintah pada tahun depan menurunkan anggaran bagi Perguruan Tinggi, termasuk dukungan dalam bentuk beasiswa bagi yang kurang mampu, sampai rencana untuk menghapuskan kebijakan Ujian Tulis Masuk Perguruan Tinggi yang gratis, tentunya patut dipertanyakan.

Penulis adalah Guru Besar FEM dan Wakil Ketua LAZ IPB