Senin, 13 Desember 2010

Dompet Kejujuran






Ternyata aku keliru. Hidup ini bisa lebih buruk lagi. Bapakku sudah pergi saat usiaku empat tahun. Sedangkan adikku masih 6 enam buan. Dalam hitungan detik kami menjadi yatim, mamak menjadi janda.
Menyakitkan memang. Kehilangan seseorang yang paling kita sayangi. Sedih karena kepergian Bapak, mamakku jatuh sakit-sakitan. Terlalu capai. Saban hari, pergi subuh pulang petang bekerja sebagai buruh tani menggantikan Bapak sebagai tulang punggung keluarga.
Tinggal aku, yang saat itu masih berusia 10 tahun harus mengambil peran utama.
Hari itu Ahad. Sambil tertunduk lesu aku berkata kepada mamak bahwa cadangan beras dan singkong itu sudah habis. Jangan  tanya soal uang,kawan, itu barang spesial.
Air mukaku padam saat berkata kepada mamak, “ Kita tidak punya  sesuatu untuk di makan”.
Mamak yang kurus, pucat terbaring lemah di atas ranjang bambu beralaskan tembikar lusuh, menatapku sayu. Diam. Sudah terlampau lemah untuk berucap, belum makan seharian.
Sedangkan adikku, mungkin sudah kering air matanya, menangis menahan lapar. Aku mencium jemari mamak. Lantas minta izin untuk melakukan sesuatu.
Mamak menatapku lebih sayu, mengangguk sambil berkata ;
“ Nak, hal yang paling menyedihkan dalam dunia ini adalah saat kehilangan kejujuran, kasih sayang, harga diri, martabat dan kepedulian. Kita tidak punya apa-apa. Bapak kau sudah lama pergi. Harta benda apa lagi, kebun, ladang, sawah, semuanya. Berjanjilah nak, walau hidup susah, makan susah, tuk tersenyum-pun susah, kau tidak akan pernah mencuri, mengemis apalagi menggadaikan harga dirimu demi sesuap nasi dan secarik rupiah,”
Setiap tetangga yang kutemui, mereka menggeleng. Hidup mereka juga susah, tidak bisa membantu. Mengunjungi rumah toke kaya raya, mereka mengusirku.
Akhirnya aku pergi ke Pasar Minggu. Pedagang menganggapku pengemis hina. Rasanya sesak, perih dan benci sekali. Padahal aku menawarkan membantu mereka, buka meminta-minta. Mamakku sakit di rumah. Kami berhak atas sebuah pertolongan kecil.
Tidak hanya sekali, berulang kali terlintas di pikiranku untuk mencuri. Hal ini mudah saja kulakukan. Mencopet dompet orang di tengah hiruk pikuk keramaian pasar, tidak ada yang tahu , selain Tuhan. Tetapi pesan mamak mengiang di kepala, membuat tanganku kaku untuk melakukan dan tubuhku gemetar untuk melakukannya.
Beruntung, ketika senja hampir pulang ke peraduannya, seorang ibu-ibu memintaku membantunya membereskan barang dagangannya. Dengan senang hati aku melakukannya. Sebagai imbalannya, sang Ibu memberikan uang Rp. 2.500. Dadaku mengembang oleh perasaan gembira. Meski hanya 2.500 rupiah, ini cukup untuk membeli beras untuk makan malam ini...
Bersambung

3 komentar:

  1. kisah nyata yo bang yo?
    berbakat abang menulis dak..sabar y bang, nasib kito dak jauh beda..

    BalasHapus
  2. subhannallah bang.... tertunduk lesu aq sudah baca yg ini bang.....

    BalasHapus
  3. subhannAllah....sangat menggugah hati bagi yang membacanya...
    tanpa terasa butiran beningpun jatuh membasahi pipi q,,,,hehe

    BalasHapus