Minggu, 24 April 2011

BANGSAT


Aku berseru, menghentakkan sebuah Koran nasional ternama di tanganku.
Pramugari bahkan hampir saja menumpahkan kopi dari tekonya. Penumpang kelas eksekutif menoleh. Dan karena dua pejabat tinggi  itu persis di sebalah bangkuku, mereka orang pertama yang melongok padaku.
“Maaf, astaga, maaf aku sungguh tidak bermaksud demikian.” Aku mengangguk penuh penyesalan. menoleh ke sebelah, menatap mereka sambil menggeleng pelan.
“Maaf, aku sedang membaca berita, lihat, astaga, apa yang mereka tulis di koran ini? Wakil Rakyat kerjanya menghabiskan duit rakyat. Bergantian pergi plesiran ke luarg negeri.
Aku menghela nafas, benar-benar menyesal telah memaki di depan orang-orang berpendidikan.

Peraturan pertama: jika kalian ingin menarik perhatian seseorang (apalagi dua orang) dengan level yang sudah terlalu tinggi dibanding kalian, maka lakukanlah dengan cara ekstrem.


Peraturan kedua: dalam situasi frontal, percakapan terbuka, maka cara terbaik menanamkan ide di kepala orang adalah justru dengan mengambil sisi terbalik. Untuk sebuah kasus netral, yang boleh jadi orang tertentu sudah memiliki pendapat dan keberpihakan, ketika dia masuk dalam pembicaraan di mana salah-satu pihak terlalu kasar, terlalu menyerang, terlalu naif dan penuh kemarahan, orang yang telah memiliki pendapat dengan cepat bisa jadi mengambil posisi berseberangan tanpa dia sadari—dengan alasan mulai dari tidak mau kalah, ingin terlihat bijak; hingga alasan lainnya.
Sesungguhnya kita semua bereaksi sama dalam setiap percakapan, perdebatan, tidak peduli kalian pejabat tinggi negara, eksekutif perusahaan besar, atau sekadar sopir angkutan umum yang mangkal di perempatan atau pengangguran di kedai kopi.
Dua pejabat tinggi itu masih menoleh padaku, menyelidik sejenak. Ini detik yang krusial. Mereka bisa saja sekejap tidak tertarik membahasnya. Urung, berpikir cermat, buat apa menanggapi makian rekan satu pesawat, ada banyak yang harus dipikirkan, urus saja masalah sendiri—peduli amat dengan tampilannya yang meyakinkan.
Aku harus segera bertindak sebelum dua orang di sebelahku ini kembali sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri.
“Ini benar-benar kacau balau. Seharusnya pihak terkait, KPK, BPK lebih tegasApa saja kerja mereka selama ini? Lihatlah, anggota terhormat itu semakin tertawa menang.” Aku mengusap wajah, memasang wajah amat kecewa.
Nah, dengan kalimatku barusan, aku jelas sudah memecahkan bisul percakapan.
Inilah peraturan ketiga, peraturan paling penting : dalam sebuah skenario infiltrasi ide, jangan pernah peduli dengan latar belakang lawan bicara kalian. Konsep egaliter menemukan tempat sebenar-benarnya. Bahkan termasuk ketika kalian wawancara pekerjaan misalnya, sekali kalian merasa adalah ‘orang yang mencari pekerjaan’, sementara mereka yang menyeleksi adalah ‘orang yang memegang leher masa depan kalian’, maka tidak akan pernah ada dialog yang sejajar, pantas, dan mengesankan.
Aku sudah memulai percakapan itu dengan pembukaan ‘gambit menteri’ dalam pertandingan catur. Maka hanya soal waktu, percakapan seru selama satu jam itu bergulir.
“Tentu saja ini bukan semata-mata salah mereka. Dalam sistem paling baik sekalipun, ketika ada individu yang memang sudah jahat dari awal, dia bisa mengakali banyak hal. Usaha preventif, alert peringatan dini, peraturan-peraturan pencegahan, audit berkala, itu semua menjadi sia-sia. Bahkan sebenarnya kita sudah punya peraturan yang melarang kriminal menjadi pejabat public.” Dua pejabat tinggi itu berusaha menjelaskan dengan arif—meluruskan kalimat kasarku lima menit lalu.
Aku mengangguk mengamini.
“Situasi sekarang rumit, anak muda. Kau boleh jadi benar, kita sudah seharusnya menyelidiki kasus ini. ketika bola panas ini belum bergulir.” Lima belas menit berlalu, mereka sudah tahu namaku—demi sopan-santun pembicaraan, aku memperkenalkan diri.
“Tetapi sebenarnya mereka adalah perampok besar, Pak. Dan ibarat rumah, gedung itu aadalah rumahnya para perampok besar. Di mana letak rasa keadilannya?” Aku pura-pura masih tidak terima, tiga puluh menit pembicaraan, gelas kopi kedua dari pramugari terhidang.
Pejabat itu tersenyum, menggeleng, “Kau tidak mengerti permainan politik, John. Aku paham apa yang kau maksud, anak muda seperti kau terkadang terlalu emosional. Boleh jadi gedung itu adalah rumah perampok, tapi ketika dia terbakar di tengah angin kencang, musim kemarau krisis dunia, kalau kita biarkan sendiri, apinya akan menjalar ke rumah-rumah lain, bahayanya akan lebih besar lagi. Jadi pilihan terbaiknya boleh jadi memadamkan api rumah itu dulu. Urusan menangkap rampok, mengambil harta yang pernah dia rampok, tentu saja harus dilakukan sesuai koridor hukum yang ada.”
Aku menghela nafas, masih hendak membantah.
“Jangan lupakan satu fakta kecil, John, Kalaupun mereka pergi ke luar negeri, bukankah maksudny baik. Mereka melakukan study banding. Mereka ingin melihat etos kerja, kebudayaan dan bahkan system perekonomian negera tujuan. Nahh di harapkan, usai  itu, pemerintah kita bias meniru yang baik dari hasil studi banding tersebut, “ Pejabat yang satu lagi coba meyakinkan.
Empat puluh lima menit berlalu, sebentar lagi pesawat mendarat, hanya soal waktu tanda safety belt kembali menyala. Dua pejabat itu sempurna sudah ‘menguasai’ pembicaraan, berhasil memberikan pemahaman yang baik kepadaku tentang wisdom dan berhentilah kasar menilai. Kebijakan bukanlah ilmu pasti, sepintar apapun kau.
“Kita tidak tahu. Belum.” Pejabat itu menggeleng takjim, “Boleh jadi besok siang, boleh jadi besok malam, KPK akan menggiring mereka ke jeruji besi. Hari ini seluruh media massa seperti sudah tahu rilis terbaru dari kedok studi banding itu. Oh..,iya, rasa-rasanya aku pernah bertemu dengan kau, John?”
Aku ikut tertawa, “Mungkin kita pernah satu pesawat, Pak. Dan Bapak waktu itu juga pernah melihat anak muda yang mengeluarkan makian.”
Mereka berdua tertawa.
Lampu safety belt menyala. Pesawat yang kami tumpangi siap mendarat. Satu-dua kalimat basa-basi penutup percakapan, “Terima-kasih banyak atas pembicaraan yang hebat ini, Pak. Aku jadi memahami banyak hal.” Aku mengangguk. Mereka tersenyum.
Di lorong garbarata turun dari pesawat, salah seorang pejabat itu sempat menepuk bahuku, “Aku tidak mungkin salah. Aku pernah bertemu dengan kau, John. Kau ikut hadir di konfrensi di Jenewa, bukan? Kau bangsat, John, eh maksudku anak muda yang berkelas. Esok-lusa, siapa tahu jika kau tertarik menjadi pejabat publik, kau bisa menjadi pejabat yang lebih baik, berani, dan taktis dibanding kami. Ini antara kau dan aku saja,”.
Teringat masa kulyah. Dulu waktu masih aktif di kampus, kami selalu dipanggil BANGSAT.., karena biasa, mahasiswa  paling pintar, kritis dan berani mengambil resiko dipanggil dengan sebutan bangsat. Kalimat makian kau tadi mengingatkanku banyak hal.


Selasa, 12 April 2011

Jangan Dibuat Rumit

Kawan, sebenarnya awak boleh jadi tak patut untuk  memberikan petuah. karena awak bijak jauh, bestari apalagi... awak juga sama seperti kebanyakan kita, hidup sempit ditengah rutinitas menjepit. sementara mimpi2 berbuat baik, idealisme bersimbah indahnya keihklasan, dan kesederhanaan hidup dibungkus harapan semakin jauh dari kenyataan...
tapi kali ini, kawan, biarlah awak menulis sesuatu yang mungkin berguna. Tulisan  yang tidak hebat, tapi tidak juga biasa2... tulisan yang sedang2 sajalah...
Kawan, ketika kita  tak kunjung bisa berlari dari keseharian. ketika kita tak jua bisa mengambil keputusan. terlalu takut dengan ketakutan itu sendiri. terlalu banyak berhitung. terlalu banyak membandingkan ukuran2 dunia yang bergelimang materialitas dan arena sikut-menyikut, maka dengarlah kawan: ketika semua itu terjadi, kita  boleh melakukan apa saja, berteriak, jengkel, marah, mengadu, melempar, berlari, dan sebagainya, tapi jangan pernah... jangan pernah sekali2 membuat hidup ini rumit. 
Jangan pernah membuat hidup kita  rumit... karena hidup ini semakin lama sejatinya memang tidak sederhana lagi.
Ada banyak kesenangan di sekitar kita. ada banyak hakikat hidup yang muncul dari cara2 sederhana... berbuat baiklah.. jadikankan setiap kita bernafas, semangat untuk menjadi bagian kebaikan selalu terhembus, semangat untuk menyebarkan ketulusan selalu terhisap... jika kita tidak ditakdirkan untuk merubah dunia, maka boleh jadi kita  ditakdirkan untuk merubah nasib satu tetangga yang malang, satu sanak-saudara yang terhimpit... berbagi, sekecil apapun yang kita miliki... bersyukur, sekecil apapun yang kita terima...
Mudah ??? tentu saja tidak, kawan... tapi jika terbiasa, perlahan tapi pasti, tingkat kebahagiaan dan keniscayaan hidup kita  akan berbeda... ah, awak juga tidak pernah tahu apakah hidup awak ada kemajuan... tapi setidaknya, kemaren saat melihat ada anak2 yang bermain kejar-keran di tepi pantai,.. tertawa2 bersama temannya.. awak menyadari satu hal: perjalanan  awak sudah terlalu rumit untuk dibuat rumit lagi...