Minggu, 21 November 2010

RUMAH KECIL DI BUKIT SUNYI

Di atas bangku bambu yang reyot, pak Kerto menjelujurkan kedua kakinya. Sebentar-sebentar tangannya mengurut-urut kedua kakinya yang kurus kering itu. Tak lama kemudian ia beranjak dari bangku kemudian melangkah ke bilik belakang yang hanya dibatasi dengan rajutan daun rumbia. Lalu diambilnya beberapa potong ubi dari sebuah panci dan diletakannya di atas selembar daun pisang yang sudah agak mengering. Kemudian melangkah balik ke depan dan duduk di bangku bambu itu kembali.

Dinikmatinya perlahan sepotong demi sepotong ubi rebus, diteguknya pula sisa kopi di gelas untuk melancarkan jalannya kunyahan ubi itu di tenggorokan. Gelas itu belum sempat diletakan, sisa sedikit kopi diteguknya kembali hingga tandas. Setelah itu gelas diletakan di bawah bangku, kemudian diambilnya puntung rokok yang terselip di sela-sela telinganya. Disulut dan dihisapnya kuat-kuat, asapnya dihembuskan perlahan-lahan. Nikmat sekali nampaknya.

Pintu tiba-tiba berderak dibuka seseorang dan disusul munculnya lelaki berperawakan pendek dengan perut yang gendut.

“Ooo….juragan. Silakan gan”, sambut pak Kerto sambil membungkuk-bungkuk. Dan dengan tergesa dibersihkannya bangku bambu yang sudah reyot itu. Masih dengan membungkuk hormatpak Kerto mempersilakan lelaki gendut itu yang dipanggilnya juragan untuk duduk di bangku.

“Bagaimana? Apakah semuanya sudah beres?” tanya sang juragan dengan mimik serius. Matanya sesekali memandang rumah kecil itu.

“Sebagian sudah saya panen, gan. Dan yang belum sisa ladang sebelah kanan parit. Silakan juragan periksa hasil panenan itu”.

“Dimana kau letakan, Kerto?”

“Ada di samping rumah, gan. Semuanya berjumlah enam karung terigu. Bagus-bagus hasil panenan kali ini”, kata pak Kerto sambil membuang sisa rokoknya yang sudah mati. Kemudian juragan itu beranjak dari bangku dan keluar diikuti pak Kerto. Kedua orang itu melangkah menuju samping rumah. Dan sang juragan segera mendekati tumpukan karung. Sesaat, dibukanya salah satu karung dan diambilnya sehelai daun yang ada di dalamnya, kemudian sehelai daun itu diciumnya.

“Ahhh, luar biasa!” teriaknya kegirangan. “Bagus…bagus sekali panenan kali ini, Kerto”, lanjut juragan itu sambil menepuk-nepuk punggung pak Kerto. Dan pak Kerto hanya mengangguk-angguk pelan. Dalam hati pak Kerto ada rasa bahagia karena bisa membuat juragan senang yang berarti ia nanti akan mendapat tambahan upah. Watak juragan memang begitu, kalau sedang senang ia tak segan-segan memberinya tambahan upah. Tapi kalau sebaliknya, berkata pun tidak, apalagi tambahan upah, kata pak Kerto dalam hatinya.

“Enam karung ini disimpan yang baik dan jangan sampai kena hujan. Dua hari lagi aku akan kembali ke sini mengambil semua hasil panenan”, ucap juragan sambil berkecak pinggang.

“Baik, gan”.

“Jangan lupa, simpan karung-karung ini baik-baik”.

“Akan saya laksanakan, gan”, jawab pak Kerto lirih sambil membungkuk-bungkuk.

Sementara matahari berangsur tenggelam dan juragan yang gendut itu menuruni perbukitan, meninggalkan pak Kerto yang masih termangu-mangu diterpa semilir angin senja. Tubuh pak Kerto yang kurus itu masih saja tegak berdiri mematung memandangi juragannya yang terseok-seok jalan di pematang sawah.

Suara serangga bersahut-sahutan mewarnai malam yang dingin. Pak Kerto berbaring di bangku bambu yang reyot itu sambil berselimut selembar sarung. Ia tak dapat tidur, padahal matanya sudah terasa berat oleh kantuk yang menggelantunginya. Sebentar kemudian diperbaiki letak sarungnya untuk menghalau dingin. Kedua telapak tangannya diletakan di bawah kepalanya sebagai alas pengganti bantal. Sementara lampu minyak yang tergantung di sudut ruangan semakin redup. Barangkali habis minyaknya, pikir pak Kerto.

Matanya belum juga bisa dipejamkan. Ditariknya nafas dalam-dalam. Pikirannya tertuju pada pohon-pohon kecil di ladang sebelah kanan parit yang besok harus dipanen. Ia sebenarnya tak habis berpikir, untuk apa juragan menanam pohon-pohon itu. Ia sendiri tak tahu, apa nama pohon yang bentuknya hampir mirip tanaman cabai. Dan ia hanya tunduk pada segala perintah juragannya lalu mendapatkan upah. Ya, hanya itu saja yang pak Kerto lakukan. Sementara pak Kerto sendiri dilarang bergaul dengan orang-orang di sekitar perbukitan. Itu Perintah juragan dan harus dipatuhi. Pak Kerto sendiri kalau pulang ke kampungnya paling cepat empat bulan sekali. Itu kalau musim panen tiba dan ia harus pulang bersama juragan yang membawa semua hasil panenan menuju kota. Juragan memang selama ini selalu baik, itu saja yang ia ketahui. Setiap pulang ke kampung, juragan selalu membekalinya beberapa potong pakaian, susu kaleng, roti kalengan, selain upah yang rutin ia terima.

Sejauh ini pak Kerto belum tahu, jenis apa dan untuk apa pohon-pohon itu ditanam. Ah, kenapa aku harus memikirkannya?, desah pak Kerto lirih. Sementara di luar gemersik dedaunan bergesekan dihembus angin malam perbukitan. Senandung serangga malam sisa satu dua yang terdengar dan mulai ditingkahi suara kokok ayam satu-satu bersahutan di kejauhan.

Pak Kerto baru saja selesai melipat sarungnya yang agak kumal. Sebentar-sebentar ditariknya nafas dalam-dalam. Kini tinggal melipat kaos oblong yang berwarna hijau pudar itu. Tak lama lagi pasti juragan akan datang lalu aku akan ikut serta dengan juragan ke kota, katanya dalam hati. Selintas dipandanginya tumpukan karung terigu. Semuanya berjumlah sebelas karung. Kemarin pak Kerto memanen ladang sebelah kanan parit dan mendapat lima karung terigu penuh. Pak Kerto tertegun sejenak, rambutnya yang agak memutih diusapnya perlahan. Tinggal apalagi yang harus dikemas, pikirnya. Kedua matanya memandangi seputar ruangan itu, tapi ia tak menemukan sesuatu yang mesti dibawa pulang.

Disandarkannya tubuh yang kurus itu ke tumpukan karung di sampingnya. Pikirannya menerawang jauh ke kampung halamannya. Sedang apa istri dan kedua anakku sekarang ya…?, tanyanya dalam hati. Sesampainya di kota nanti pak Kerto ingin membelikan kain kebaya buat istrinya, juga dua sandal plastik buat kedua anaknya. Dan bibir pak Kerto yang hitam dan kering itu berdecah-decah kemudian tersenyum-senyum sendiri. Rasa hatinya bahagia sekali karena sebentar nanti akan segera bisa melepas kerinduan pada istri dan kedua anaknya, setelah empat bulan lebih berpisah.

Pak Kerto kemudian bangkit dan berjalan menuju bilik belakang. Diambilnya sisa kopi yang tinggal seperempat gelas lalu diminumnya hingga tandas. Belum juga ia sempat meletakan gelasnya, tiba-tiba ada terdengar suara orang mengetuk pintu. Ahh.., juragan datang, kata pak Kerto lirih penuh kegembiraan. Ia segera meletakan gelasnya dan dengan langkah yang tergesa pak Kerto menuju ke bilik depan.

“Sebentar gan, sebentar…”, kata pak Kerto girang sambil membuka palang pintu. “Biasanya kan langsung masuk, gan”, lanjutnya sambil menguak daun pintu.

Dan pak Kerto merasa seluruh aliran darahnya terhenti ketika di depannya berdiri empat orang polisi dengan senjata di tangan.

“Jangan bergerak!”, gertak salah seorang polisi. Sedangkan ketiga polisi lainnya langsung masuk rumah kecil itu. Pak Kerto sendiri berdiri kaku, mematung, tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Maaf, bapak saya tangkap”, kata polisi yang habis menggertak tadi sambil mendekat dan memborgol kedua tangan pak Kerto. Dan pak Kerto semakin bertambah bingung.

“Apa kesalahan saya, pak?” tanya pak Kerto terputus-putus.

“Bapak telah menanam dan menyimpan pohon ganja, padahal pohon-pohon ganja ini dilarang ditanam oleh pemerintah”, jawab polisi itu tegas.

“Tapi saya hanya disuruh juragan. Saya hanya melaksanakan perintah juragan, pak”, kata pak Kerto tertunduk.

“Saya mengerti dan memahami keadaan bapak. Juragan bapak sekarang ada di tahanan polisi”.

Polisi itu kemudian menyuruh pak Kerto berjalan menuruni lereng perbukitan. Sedang ketiga polisi lainnya memanggul beberapa karung terigu yang berisi daun ganja dengan dibantu beberapa peladang yang kebetulan berada di sekitar perbukitan itu.

Pak Kerto tertunduk menuruni lereng perbukitan. Inilah jawaban atas teka-teki tanaman itu, batin pak Kerto. Ya, dua tahun lebih baru terjawab sekarang, batinnya lagi dalam hatinya. Tak terasa pipi keriput lelaki tua itu sudah basah oleh air mata. Sementara rumah kecil di atas bukit semakin jauh ditinggalkan. Tuhan, jerit pak Kerto lirih.



Purbalingga, 1982

Senin, 15 November 2010

Menanti Fatwa Mengganti Tema Idul Adha

Hari-hari ini saya benar-benar menanti fatwa, entah dari MUI atau ulama mana saja di Indonesia ini. Fatwa yang saya tunggu-tunggu adalah: Mari kita fokuskan korban kita di hari Idul Adha yang akan datang minggu depan untuk membantu saudara-saudara yang tertimpa bencana di Wasior, Mentawai, dan Merapi.
Hari ini saya melihat berita di kompas.com yang mengguncang saya—kalau saja kata "mengguncang" bisa sedikit mewakili apa yang saya rasakan. Ada dua orang kakek yang seluruh tubuhnya berbalur serbuk/lumpur abu-abu keputihan. Ada dua orang penyelamat, juga berlabur putih, sedang menggendong seorang survivor (atau 'penyintas') awan panas di sebuah desa lereng merapi.
Entah bagaimana caranya saya langsung teringat hari raya korban yang akan datang. Mungkin karena pagi harinya saya berbicara tentang persiapan pelaksanaan korban di sekolah tempat istri saya mengajar—kebetulan dia panitia dalam acara tersebut.
Saya jadi ngeri sendiri kalau membayangkan bagaimana minggu depan akan banyak kambing di banyak wilayah di Indonesia, dan banyak yang akan mendapat jatah, dan banyak yang akan bikin sate, gule, atau dendeng, sementara tepat pada saat saya membuang-buang waktu menulis postingan ini begitu banyak orang yang kesulitan berteduh, kesulitan makan--ah, jangankan kesulitan berteduh, kesulitan menghirup udara segar saja banyak.
Paru-paru saya jadi terasa sangat penuh.
Dari situ saya jadi terpikir tentang adanya pembaruan atau penggantian yang biasanya akan lebih efektif jika dilakukan tokoh agama, ulama, atau kalau secara nasional MUI lah. Sudah sejak beberapa waktu yang lalu saya risih dengan fatwa-fatwaan, fatwa infotainment haram lah, fatwa merokok haram, fatwa ini haram itu haram dll yang well tidak terlalu menyentuh sendiri kehidupan lah, nggak urgen (nggak seurgen fatwa "korupsi itu haram sehingga ulama harus mati-matian mengutuk korupsi" atau fatwa "membiarkan terjadinya kemiskinan itu haram" dan sejenisnya). Dalam suasana terguncang tadi pagi itu saya jadi menuntut, seperti anak kecil yang sebal (tapi sayang) kepada orang tuanya: kalau sudah begini, kapan ada fatwa "idul adha tahun ini dipercepat seminggu" atau "idul adha tahun ini korbannya mentahannya (uang) saja biar bisa disumbangkan" atau "idul adha tahun ini dagingnya diawetkan biar bisa dikirim ke korban bencana" dll.
Saya sih menuntut-nuntut saja, dan berharap ada rejeki agar bisa "berkorban" idul adha ini, apapun bentuknya. Saya tidak tahu bagaimana detilnya, apakah kita akan gagalkan beli kambing dari para belantik yang sudah kulak banyak kambing dengan harapan mendapat untung besar tahun ini? Apakah kita akan beli kambing itu tapi dagingnya dikirim ke korban bencana, atau apa. Entah.
Tapi yang pasti, kita masih punya waktu satu minggu. Kalau para ulama kepingin bikin fatwa secara perseorangan kayaknya juga masih ada waktu. Kalau para panitia korban masih belum menentukan mau beli kambing di mana, sepertinya masih ada waktu. Kalau Anda masih belum daftar korban tapi sudah punya uang, masih ada waktu. Kalau Anda masih belum punya uang tapi optimis bisa mendapat cukup uang untuk korban, insya allah masih ada waktu.
Kalau Anda sudah punya uang dan tinggal korban, tapi sudah tidak sabar menunggu minggu depan, saya secara pribadi menganjurkan (sebenarnya ingin "memfatwakan," tapi ya bagaimana lagi, tetangga saya bilang saya belum berkompeten) segera saja dipercepat idul adhanya, niat saja berkorban melepaskan ego seperti dilakukan bapak Ibrahim dulu sekaligus diniatkan meringankan beban penderitaan saudara-saudara sendiri.

oleh : Wawan Eko Yulianto

Minggu, 14 November 2010

Salam Dakwah & Ukhuwah




Bismillaahirrahmaanirrahiim Assalamu’alaikum wr wb.

Subhanallah, Rasulullah saw menempatkan cinta ukhuwah atau persaudaraan itu dengan bahasa kesempurnaan iman, layaknya sebuah pernikahan atau jihad di jalan Allah, takkan sempurna iman seseorang sebelum menempuh semuanya itu. Betapa berharganya sebuah persaudaraan bukan? Persaudaraan yang ikhlas karena Allah, yang terkadang untuk mencapainya teramat sulit, begitu banyak ujian dan cobaan yang mengisi ruang kehidupan ikatan ukhuwah itu.

Ihwa wa Ukhti, Selama perjalanan kehidupan yang kita lalui bersama, telah begitu banyak memberikan nilai yang amat berharga. Ketika kita saling mengenal satu sama lain, saling memahami, hingga akhirnya kita saling berkorban yang terbaik untuk saudara kita, walau itu semua belum maksimal kita lakukan. Ana pun bersyukur kepada Allah, telah dipertemukan dengan kalian semua, karena bersama kalian, ana menyadari ternyata masih banyak orang lain yang memiliki kesulitan yang lebih sulit dari yang ana hadapi.

Bagaimana setiap pertemuan kita selalu berbagi kabar dan bercerita tentang berbagai kesulitan yang dihadapi, mulai dari kesulitan ekonomi, keluarga, dakwah, dan sebagainya. Semua kita bagi bersama bukan? Dan ana akhirnya memperoleh lautan hikmah yang amat berharga dari itu semua.
My Sohib, Kalian mungkin masih ingat ketika ada saudara kita yang sedang kesulitan, bahkan untuk makan sendiri saja ia cukup kewalahan mengelolanya, yang terkadang hanya makan 2 kali bahkan sampai 1 kali sehari, pun pernah dengan hanya nasi dan garam saja. Atau ada juga saudara kita yang untuk kesana kemari dalam rangka dakwah cukup kesulitan dengan ongkos yang lumayan menguras kantong, padahal kita tahu kondisi ekonominya cukup pas-pasan, tapi ia tidak menyerah begitu saja, selalu ada jalan ketika kita menolong agama Allah ini. Dan kita mungkin masih ingat pula dengan saudara kita yang sedang diuji dalam biduk rumah tangganya. Semua itu adalah ujian dalam kehidupan, dan ujian pula untuk persaudaraan ini. Walaupun dalam kenyataannya, tidak semuanya bisa kita selesaikan sendiri.

Saudaraku.., Ana masih ingat ketika kita berbagi tentang adik-adik binaan kita. Dari satu halaqoh ke halaqoh yang lain, penuh masalah dan berbagai pernik yang melingkupinya lalu kita merancang sebuah acara khusus untuk menambah tsaqofah mereka atau kadang kita saling memberikan solusi atas persoalan mereka. Ada pula saat-saat di mana kita harus rela dengan lapang dada menerima uzur saudara kita, atau terkadang kita harus bolak-balik mengganti hari pertemuan kita dikarenakan jadwal yang tidak sesuai dan berubah setiap pekannya. Ana kalau mengingat hal itu sering tersenyum sendiri, karena biasanya kita sering tidak memiliki pulsa untuk memberi kabar, dan ana harus mengejar waktu sebelum pukul tujuh pagi untuk menghubungi kalian  karena biaya telpon saat itu lebih murah. Ah, kalau diingat-ingat, ternyata berbagai masalah di dalam dakwah ini tidak ada yang membuat kita sedih, justru yang ada hanyalah keindahan karena masalah dakwah ini telah mendewasakan kita. Are you agree with me?

Beginilah jalan dakwah mengajarkan kita, mengajarkan keikhlasan, tekad yang kuat dan mengajarkan berbagai hal yang semestinya membuat kita semakin dekat kepada Allah swt. Bukan malah sebaliknya, menjauh dari jalan ini, karena hanya orang-orang yang lemah saja yang tidak sanggup menempuhnya. So, apakah kita orang yang lemah? Nope.Oleh karena itu, semaksimal mungkin kita kembangkan potensi diri kita untuk suatu saat kita berikan sebagai kontribusi kita terhadap diin islam ini. Sekecil apapun kontribusi yang diberikan, insyaAllah akan bernilai besar di mata Allah jika keikhlasan di atas itu semua.
Ukhti yang ana cintai karena Allah,Mungkin selama perjalanan hidup kita, banyak salah dan khilaf yang ana lakukan terhadap antuna, pun banyak hal yang mungkin belum bisa ana bantu, namun kapan saja antuna membutuhkan ana, insyaAllah kita tetap bisa menyelesaikannya. Just call me, ok.
Akhirul kalam, atas semua hal yang telah kita alami bersama, kita jadikan pelajaran dalam hidup kita, kelak suatu saat, kita bercerita kepada anak dan cucu kita tentang indahnya ukhuwah yang pernah terjalin dan memberikan mereka pelajaran tentang banyak hal dalam hidup. Setelah ini, mari kita tingkatkan kualitas diri kita dihadapan Allah, dan jangan pernah menyerah atau lelah dalam dakwah ini, hingga kelelahan lelah mengejar kita.

Virus Komputer Paling Berbahaya Tahun 2010

INILAH Virus Komputer Paling Berbahaya Tahun 2010
Serangan virus jenis VBScript masih sangat tinggi, ini terbukti dari banyaknya laporan yang mengeluhkan perihal virus jenis script ini. Satu virus yang melesat tinggi ke urutan pertama adalah Discusx.vbs. Bila Anda masih ingat dengan virus ini, di Virus Top-10 edisi Maret 2008 yang lalu, virus Discusx.vbs berada di urutan 5, namun kali ini dia melesat naik ke urutan pertama. Berikut daftar selengkapnya:

1. Discusx.vbs
Virus VBScript yang satu ini, memiliki ukuran sekitar 4.800 bytes. Dia akan mencoba menginfeksi di beberapa drive di komputer Anda, termasuk drive flash disk, yang jika terinfeksi akan membuat file autorun.inf dan System32.sys.vbs pada root drive tersebut. Selain itu, ia pun akan mengubah caption dari Internet Explorer menjadi “.:iscus-X SAY MET LEBARAN! [HAPPY LEBARAN ?!]::.”.

2. Reva.vbs
Lagi, virus jenis VBScript yang lumayan banyak dikeluhkan oleh beberapa pembaca. Ia akan mencoba menyebarkan dirinya ke setiap drive di komputer Anda termasuk drive flash disk. Pada drive terinfeksi akan terdapat file reva.vbs, autorun.inf, dan shaheedan.jpg. Selain itu, ia pun akan mengubah halaman default dari Internet Explorer agar mengarah ke situs lain

3. XFlyPC
Media Antivirus mengenali dua varian dari virus ini, yakni XFly.A dan XFly.B. Sama seperti kebanyakan virus lokal lainnya, ia dibuat menggunakan Visual Basic. Memiliki ukuran tubuh sebesar 143.360 bytes tanpa di-compress. Dan ia dapat menyamar sebagai folder, file MP3 WinAmp atau yang lainnya dengan cara mengubah secara langsung resource icon yang ada pada tubuhnya. Ini akan lebih mempersulit user awam dalam mengenalinya. Pada komputer terinfeksi, saat menjalankan Internet Explorer, caption-nya akan berubah menjadi “..:: x-fly ::..”, dan saat memulai Windows pun akan muncul pesan dari si pembuat virus pada default browser. Atau setiap waktu menunjukan pukul 12:30, 16:00, atau 20:00, virus ini pun akan menampilkan layar hitam yang juga berisi pesan dari si pembuat virus.

4. Explorea
Virus yang di-compile menggunakan Visual Basic ini hadir dengan ukuran sekitar 167.936 bytes, tanpa di-compress. Menggunakan icon mirip folder standar Windows untuk mengelabui korbannya. Virus ini akan menyerang Registry Windows Anda dengan mengubah default open dari beberapa extension seperti .LNK, .PIF, .BAT, dan .COM. Pada komputer terinfeksi, disaat-saat tertentu terkadang muncul pesan error, contohnya pada saat membuka System Properties.

5. Gen.FFE
Gen.FFE atau pembuatnya menamakan Fast Firus Engine merupakan salah satu program Virus Generator buatan lokal. Dengan hanya menggunakan program ini, tidak dibutuhkan waktu lama untuk dapat menciptakan virus/varian baru. Virus hasil keluaran program ini menggunakan icon mirip gambar folder standar bawaan Windows. Ia pun akan memblokir akses ke Task Manager, Command Prompt, serta menghilangkan beberapa menu di Start Menu. Ia juga akan membaca caption dari program yang aktif, apabila terdapat string yang berhubungan dengan antivirus maka program tersebut akan segera ditutup olehnya.

6. Hampa
Virus yang juga dibuat menggunakan Visual Basic dan ber-icon-kan folder ini memiliki ukuran tubuh sekitar 110.592 bytes, tanpa di-compress. Banyak sekali perubahan yang ia buat pada Windows, seperti Registry, File System, dan lain sebagainya, yang bahkan dapat menyebabkan Windows tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Pada komputer yang terinfeksi oleh virus ini, saat memulai Windows akan muncul pesan dari si pembuat virus.

7. Raider.vbs
Virus jenis VBScript ini berukuran sekitar 10.000 bytes, jika file virus dibuka dengan Notepad misalnya, maka tidak banyak string yang bisa dibaca karena dalam kondisi ter-enkripsi. Pada Registry, ia pun memberikan pengenal dengan membuat key baru di HKLM\Software dengan nama sama seperti nama pada computer name, dengan isinya berupa string value seperti nama virus tersebut, Raider, serta tanggal komputer tersebut kali pertama terinfeksi.

8. ForrisWaitme
Virus yang dibuat dengan Visual Basic ini menggunakan icon mirip folder standar Windows untuk melakukan penyamarannya. Beberapa ulahnya adalah menukar fungsi tombol mouse kiri dengan kanan, menghilangkan menu Folder Options, membuat file pesan “baca saya.txt” pada drive terinfeksi, dan masih ada yang lainnya.

9. Pray
Virus lokal ini dibuat menggunakan Visual Basic. Kami mendapati 2 varian dari virus ini, untuk varian Pray.A tidak memiliki icon, sementara untuk varian Pray.B menggunakan icon mirip Windows Explorer. Jika komputer terinfeksi oleh virus ini, saat penunjuk waktu di komputer tersebut menunjukan pukul 05:15, 13:00, 16:00, 18:30, dan atau 19:45, virus ini akan menampilkan pesan yang mengingatkan user untuk melakukan shalat.

10. Rian.vbs
Virus VBScript ini memiliki ukuran 3788 bytes. Saat menginfeksi, ia akan menciptakan file baru autorun.inf dan RiaN.dll.vbs pada setiap root drive yang terpasang di komputer korban, termasuk Flash Disk. Komputer yang terinfeksi oleh virus ini, caption dari Internet Explorer akan berubah menjadi “Rian P2 Humas Cantiq

sumber:forumkami.com

Senin, 08 November 2010

Sakitnya Melahirkan Kesadaran


Aku berlari di hatimu
Karena takut kata-kataku mengering
Kegersangan, kedangkalan, dan kebingungan
Di pantai ketiadaan
Hidup dari tubuhku yang berwaktu
Walau masa lalu kejam
Kekinianku lebih kejam
Baru sekarang aku kesakitan
Melihat kematian kesadaran
Padahal sadar itu  milikku
Menyadari juga milikku
Mengapa dibiarkan
Tersandung kekinian
Hidupku menjadi sampah
Mati dan terlempar
Aku tak ingin terbunuh oleh diriku
Malam
Tak berdetak melihat di tepi rindu
Kesunyian yang mengitari tradisi
Hidup di ruang waktu
Akan hampa
Jika kita tak mampu memberi roh pada mereka

Rabu, 03 November 2010

Panggung Jalanan

Dahulu, waktu aku masih kecil—setiap menjelang tidur—kakek selalu duduk di sebelah ranjangku yang sudah reot. Dia selalu mendongengkan aku soal pengalamannya di masa muda. Masa di mana dia masih sangat bersemangat dalam mengarungi hidupnya. Kakek adalah seorang seniman teater tradisional: wayang orang. Dia menghidupi almarhum bapak dari berkesenian. Keliling dari panggung ke panggung. Ayahnya kakek juga orang panggung. Kata kakek, buyut aku itu pemain teater yang terkenal di jaman Belanda. Darah seni itu pun mengalir ke tubuh kakek. Tapi, hanya terhenti di kakek. Sebab, bapak tak mau ambil peduli soal masalah kesenian.
Perlu kalian tahu, almarhum bapakku adalah pegawai kantor pos yang hari-harinya banyak dihabiskan di jalanan untuk mengantarkan surat keliling Jakarta. Waktu aku masih duduk di kelas tiga SD, ibu bercerai dengan bapak. Saat itu, aku tidak mengerti masalah orang tua. Aku tak mengerti apa yang ada di otak mereka itu. Menurutku terlalu rumit untuk dipikirkan. Mengapa menikah kalau akhirnya bercerai? Pikirku waktu itu. Namun, kakek pernah bilang, ibu menceraikan bapak karena tidak tahan hidup pas-pasan. Lalu, ibu mengambil keputusan yang membuatku membencinya hingga sekarang. Ia menikah lagi dengan seorang direktur sebuah perusahaan konfeksi dari Surabaya. Setelah kejadian itu, bapak depresi dan sakit-sakitan. Akhirnya malaikat maut menyabut nyawanya saat aku masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Kakek bilang, bapak meninggal karena serangan TBC dan kanker otak. Waktu itu, aku pun kurang paham jenis penyakit apa itu.
Sepeniggal bapak dan ibu, aku diurus kakek. Setelah tiga kali berpindah-pindah, sekarang kami menetap di rumah kontrakan kecil di bilangan Kwitang. Sejak kecil, cuma kakek yang paham duniaku. Aku suka membaca dan mencoret-coret catatan di buku tulis. Membuat cerita apapun yang tiba-tiba melintas di kepala. Lalu, kakek mendukungku dengan membelikan buku-buku cerita rakyat, seperti Malin Kundang dan Sangkuriang. Dari sini, aku mantapkan tekad suatu hari nanti akan jadi penulis dongeng. Hanya kepada kakek lah aku berani bercerita soal keinginanku kelak sudah dewasa itu. Dan, kakek mendukungku. Suatu hari, beliau memberiku tiga pesan: jadilah dirimu sendiri, kejarlah cita-cita dan idealismemu sampai ke manapun, dan hidup semata-mata cuma perjuangan. Tiga pesan itu aku ingat. Aku pegang erat-erat... ***
Aku salut sama kakek. Kakek berhasil membiayai pendidikanku sampai aku lulus SMA. Setelah itu, aku tak melanjutkan ke bangku kuliah. Sebenarnya keinginan untuk melanjutkan ada, tapi terbentur masalah klise: biaya. Namun, aku berharap suatu hari nanti, aku bisa melanjutkan pendidikanku. Tentu dengan hasil keringatku kelak.
Entah uang darimana kakek bisa menanggung biaya sekolahku itu, karena setahuku waktu aku duduk di bangku kelas satu SMA, dia sudah vakum dari dunia panggung. Ya, di Jakarta ini hiburan panggung yang menyajikan kesenian tradisional dari waktu ke waktu semakin ditinggali orang. Mungkin secara tidak langsung ini imbas dari semakin berkembangnya teknologi. Orang enggan meluangkan waktu untuk sekadar menonton pertunjukan wayang orang. Mereka lebih baik mengisi waktu senggang ke tempat-tempat hiburan yang hanya mementingkan hura-hura saja, seperti cafe, mal, bioskop, atau taman hiburan. Terakhir, aku lihat kakek manggung bersama rombongan ‘rentanya’ di kampung dekat sini, saat diundang untuk mengisi acara hajatan. Aku lihat, penonton sangat sepi. Bisa kuhitung dengan jariku. Namun, mereka tetap total bermain di atas panggung. Menjilati getirnya tatapan sinis penonton yang semakin gagu akan seni tradisi bangsa sendiri. Tak lama setelah itu, rombongan wayang orang kakek pun bubar. Punah ditelan mentah-mentah oleh congkaknya jaman. Beberapa anggotanya juga sudah ada yang meninggal dunia. Semenjak rombongannya bubar, aku sering melihat kakek keluyuran dari pagi sampai malam. Entah ke mana. Jika aku tanya, hingga kini mulutnya masih dikunci rapat-rapat. ***
Sekarang, aku sudah menjadi cerpenis. Ya, walaupun hanya cerpenis kacangan yang tidak dikenal orang. Namun, lumayan, aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Lagi pula aku tak peduli dengan popularitas. Aku kan bukan selebritis. Meskipun aku hanya tamatan SMA, aku tidak minder untuk menceburkan diri ke dunia yang aku sukai ini. Toh semua orang bisa jadi penulis kan? Tak peduli dia sarjana, tukang becak, anak kecil, kuli bangunan, guru, atau profesor, semuanya punya bakat menulis jika benar-benar diasah dengan baik. Hampir setiap minggu honor mengalir dari beberapa media yang sudah menjadi langganan cerpenku. Sebenarnya, sekarang kakek tak perlu khawatir soal masa depanku. Aku juga mampu membayar sewa rumah ini dengan honorku. Juga tambahan dari berjualan majalah bekas di perempatan lampu merah Senen. Dari honor yang kusisihkan, aku bisa membangun kios majalah kecil berbahan dasar papan. Di pinggir kiri-kanan kiosku juga ada beragam tempat usaha, mulai dari penjual buku-buku bekas dan majalah seperti aku, jasa pembuatan kunci duplikat, servis komputer, sampai penjual pulsa telepon seluler. Sekarang aku bisa mandiri. Harusnya kakek dapat bersantai-santai di rumah. Tidur atau menonton televisi 14 inchi yang kami punya. Tapi, aku heran, kenapa kakek di hari-hari tertentu masih sering ke luar rumah dari pagi sampai sore.
“Mau ke mana, kek?” tanyaku, hampir setiap kali saat aku lihat dia ingin ke luar rumah dengan  gembolan kain di pundaknya. “Ah, ada urusan sebentar...” jawabnya, langsung ngeluyur ke luar rumah. Selalu itu jawabannya.
Semenjak aku lulus SMA, pasti pukul 09.00 WIB, setiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu, kakek ke luar rumah membawa gembolan. Dulu, waktu aku belum lulus—hampir setiap pagi berbarengan dengan kepergianku ke sekolah—kakek selalu ke luar membawa gembolan. Sekarang—seperti sudah diatur sedemikian rupa—setiap kakek ke luar, aku selalu sedang sibuk membereskan majalah-majalah bekas yang akan dijual nanti di perempatan. Sebelum matahari berada tepat di atas ubun-ubun, aku berangkat ke perempatan jalan, membawa tas gemblok yang berisi majalah-majalah bekas. Menjajakan bahan bacaan ke setiap orang yang melewati kiosku yang cuma sepetak, berbentuk kotak. ***
“Hei, Sat, belum beres-beres nih?” tanya Radit, pengamen jalanan yang juga teman curhatku di sini.
Aku yang sedang membaca di dalam kios, lalu menghampiri dia yang berdiri di depan kiosku. “Belum. Masih sore lah. Sebentar lagi. Duduk, Dit,” sahutku, seraya duduk di bangku panjang depan kios.
Radit pun duduk di sebelahku. Gitarnya ditaruh di pangkuan pahanya. Dagunya ditopang di gitarnya. “Gimana ngamen hari ini?” tanyaku kepada pemuda urakan berpakaian serba hitam ini. “Yah, lumayan, Sat. Dapet dua puluh ribu mah,” jawabnya, diiringi senyum yang dipaksakan. Wajahnya lalu tertunduk. Aku merasakan tarikkan napasnya yang panjang-pendek.
Kami terdiam. Ada jeda di sini. Radit mengamati tanah yang dipijak oleh sandalnya. Aku memerhatikan wajah lesunya. Aku kenal Radit dari SMP. Dulu dia teman sebangkuku, sebelum akhirnya tak melanjutkan pendidikan ke SMA. Bapaknya kena PHK, dan habis itu hancurlah pendidikan dia. Kebalikan dari aku, ibunya meninggal saat melahirkannya. Setelah di PHK, bapaknya merantau ke Lampung. Dan, hingga kini bapaknya tak kunjung pulang. Radit hanya diasuh oleh tantenya yang cuma penjual lontong sayur. Menurutku, Radit hebat. Di tengah hidupnya yang serba rumit dan sulit melebihi hidupku, dia masih sanggup untuk bertahan. Dia mampu mencari uang sendiri sejak putus sekolah. Aku akui, dia memang berbakat di musik. Waktu SMP dulu, dia sering dikirim sekolah kami untuk ikut perlombaan menyanyi atau bermain musik antarsekolah se-Jakarta. Walaupun belum pernah juara, tapi toh kemampuannya itu sudah dilirik oleh guru-guru di sekolah kami. Jika digelar pentas seni di sekolah, Radit pun kerap bernyanyi dan bermain gitar di atas panggung. Saat ini, jalanan bagi Radit adalah sebuah panggung.
“Udah laku berapa, Sat? Sat...Satrio...Sat!!!” Teriaknya tepat di telinga kananku. Aku terperanjat. Hampir saja jatuh dari bangku ini. Seketika itu juga lamunanku pun buyar. “Eh...Hehe. Sori, ngelamun tadi. Baru aja kebeli sepuluh,” jawabku kikuk. “Lumayan lah...” tambah Radit. “Alhamdulillah...”
Hari semakin gelap. Siraman sinar senja perlahan-lahan tergantikan oleh cahaya lampu jalanan. Radit pun kembali ke jalanan: mengamen. Ya, aku lihat lalu lintas padat. Orang-orang yang bekerja, pulang di waktu yang hampir bersamaan. Kendaraan mereka tumplek jadi satu di jalanan. Bagi Radit, macet merupakan ladang uang. Aku menutup kios. Membawa beberapa majalah ke rumah, juga hasil jerih payah hari ini.
Ketika adzan Maghrib berkumandang, aku sudah sampai di rumah. Dan, saat membuka pintu rumah, aku selalu dan selalu menjumpai kakek tertidur di bangku ruang tamu. Selalu memergokinya dengan guratan wajah yang tampak kelelahan sekali. Selalu menjumpai gembolannya digeletakkan begitu saja di bawah. Tepat di dekat kakinya yang kurus. Tapi, belum pernah sekalipun aku lancang membuka isi gembolan kain itu tanpa sepengetahuannya. Di rumah, seperti biasa, aku akan makan dan beristirahat sebentar. Lalu  mengetik cerpen sebelum terlelap. ***
Hari ini begitu semarak dibanding hari kemarin. Anak-anak di lingkunganku terlihat sibuk mempersiapkan diri mereka untuk berlomba. Kemudian di antara mereka berlari menghambur bagaikan daun kering yang diembus angin. Mereka melewatiku yang tengah melangkah menuju kios. Bendera merah-putih pun menancap di setiap sudut. Menghiasi halaman-halaman rumah yang aku lewati. Rangkaian bendera merah-putih berukuran mini juga melintang di atas kepalaku. Dijejerkan dengan tali yang saling mengait. Ya, benar, sekarang 17 Agustus. Itu berarti pesta memperingati hari kemerdekaan digelar di mana-mana. Mereka sibuk menggelar perlombaan, acara musik, serta upacara. Sedangkan aku—seperti biasanya—harus kembali ke kios untuk berjualan majalah. Untuk mencari nafkah.
Waktu merambat cepat. Sampai menjelang siang, orang-orang hanya hilir mudik melewati kiosku. Ada juga beberapa yang cuma membaca-baca saja majalah yang aku pajang menghadap jalan. Sesekali aku menyaksikan konvoi kendaraan yang dominan warna merah-putihnya. Ada pula iring-iringan karnaval yang sebagian besar terdiri atas anak-anak. Ramai sekali. Aku masih duduk sendirian di dalam kios. Memerhatikan mereka yang penuh semangat dan rona wajah gembira.
“Sat...Satrio! Ada air nggak lo?” tiba-tiba Radit mengaggetkanku dengan teriakannya itu.   Dia terlihat panik sekali sembari memapah seorang bapak tua. Dengan tergesa-gesa dia langsung duduk di bangku panjang depan kios. “Ada...ada. Kenapa?” tanyaku, keluar menghampirinya. Aku perhatikan, bapak tua yang dipapahnya tadi terlihat sangat kelelahan. Seperti habis berlari jauh sekali. Keringat mengucur dari pipinya yang kurus dan keningnya yang mengeriput. “Cepet, bapak ini butuh air!” perintah Radit, “Dia habis dikejar-kejar preman karena nggak mau ngasih duit hasil ngamennya tadi,” lanjutnya dengan napas yang masih tersengal-sengal.
Segera aku masuk kembali ke dalam kios. Menuangkan air bening dari botol plastik minuman mineral ukuran satu liter ke dalam gelas plastik yang selalu kusiapkan di sini. “Ini...” kataku, menyerahkan air di gelas plastik itu kepada Radit.
Lelaki tua berbalut make-up tebal berwarna putih kombinasi hitam di alis dan jidatnya, serta merah di pipi kanan-kirinya—mirip wajah punakawan—itu langsung menenggak habis air yang kubawakan tadi, tak tersisa. Bapak tua ini juga mengenakan kostum layaknya seniman wayang orang begitu. Ada pula sehelai selendang berwarna hijau yang melilit di lehernya. “Gimana kejadiannya, Dit?” tanyaku penasaran.
Aku perhatikan wajah si bapak tua itu. Namun, dia seperti mengacuhkan pandanganku. Memalingkan muka sebisa-bisanya. Aku tak bisa mengenali wajahnya, sebab terbungkus make-up putih itu. Tapi melihat bentuk tubuhnya, sepertinya aku mengenalinya.
“Habis ngamen, bapak ini istirahat di depan kios rokok. Terus duitnya diminta sama Kang Juned dan temen-temennya. Kang Juned preman perempatan lampu merah depan mal sana, Sat. Tapi dia nolak. Terus dia mau dipukuli sama mereka kalo nggak ngasih duitnya. Gua ngeliat kejadiannya. Terus gua papah aja dia untuk lari. dan, langsung aja gua bawa ke sini. Tadinya dia nolak untuk gua bawa ke sini...” cerocos Radit. “Lho, kenapa nolak?” aku penasaran. Dahiku menaik. “Nggak tau...” jawab Radit. “Ya udah istirahat dulu aja...” kataku memberi senyum kepada bapak naas itu. Tapi, lagi-lagi dia menghindari tatapanku. “Bapak ini udah gua anggap bapak gua sendiri, Sat. Kasian. Dia udah tua, tapi masih banting tulang untuk cucunya. Untuk hidupnya. Dia jadi badut-badutan di perempatan lampu merah depan mal sana tuh,” ujar Radit menunjuk ke arah utara dari kami, “Menari-nari di setiap mobil yang berhenti. Katanya, dia ngurus cucunya setelah cucunya itu hidup sendirian. Bapaknya udah meninggal dunia katanya. Terus ibunya udah nikah lagi sama orang Jakarta...” celoteh Radit dengan raut muka memelas.
Aku lalu duduk di sebelah bapak tua itu. Melihat dalam-dalam wajahnya. Dia menunduk. Aku memerhatikannya lebih dekat. Lebih dekat. Lebih dekat hingga hampir saja dia tercium olehku. “Heh, kenapa, Sat? Lo ngeliat Pak Darta gitu banget?” tegur Radit.   “Pak Darta? Kakek?!” tebakku. Dia masih diam dan tertunduk. “Ini kakek kan? Kenapa sih kakek pake nyari duit di jalanan segala?” aku mendesaknya untuk berkata,”Aku kan udah bisa nyari duit buat kakek,” lanjutku terus menatap wajahnya yang dilipat itu. Tak lama, wajahnya diangkat. Dia balik memandangku. Mata kami bertabrakan. “Iya, Satrio, ini kakek...” jawabnya seperti berbisik. Aku terperanjat. Hampir saja aku marah, karena kakek berbuat begini demi aku. “Kenapa kakek nyari duit begini?” tanyaku lagi.      Emosi di dada aku redam dalam-dalam. Aku berusaha berkata lembut demi kakek. Demi orang yang aku cintai ini. “Maaf, Satrio, kakek nggak berani bilang sama kamu. Selama ini kakek menghidupimu dari panggung jalanan. Demi cita-cita kamu yang pingin jadi penulis hebat, Satrio. Maaf, kakek takut nanti kamu malu sama teman-temanmu. Sampai sekarang kakek pingin mandiri. Nggak mau ngerepotin Satrio yang berusaha nulis untuk cita-cita kamu itu,” jawabnya.
Aku pandang matanya yang berkaca-kaca. Seperti ingin menangis, tapi dia tahan. Bodohnya aku yang tidak tahu pekerjaan kakek selama ini. Bodohnya aku yang membiarkannya menghidupi diri sendiri di jalanan. Spontan aku memeluknya erat-erat. Aku merasa, seperti sudah lama sekali tidak berjumpa dengan kakek. Seperti melepaskan kerinduan yang amat dalam. Air mata kami pun tumpah seketika. Radit masih terdiam dalam duduknya. Memerhatikan kami.
“Pak Darta kakek lo, Sat?” tanya Radit sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Aku tak membalas pertanyaannya. Begitu juga kakek. Kami larut dalam suasana haru. Menurutku, ini adalah hadiah yang sangat istimewa di hari kemerdekaan. Aku mengetahui perjuangannya menghidupi dan menanggung seluruh biaya pendidikanku hingga aku lulus. Aku menarik satu hikmah dari perjuangan kakek. Dia menuntut aku untuk terus berjuang demi menggapai cita-cita dan menghidupi diri. Kakek, aku mencintai pengorbananmu. Aku akan selalu pegang tiga pesanmu: jadilah dirimu sendiri, kejarlah cita-cita dan idealismemu sampai ke manapun, dan hidup semata-mata cuma perjuangan. Sampai kapan pun...Aku janji.