Minggu, 21 November 2010

RUMAH KECIL DI BUKIT SUNYI

Di atas bangku bambu yang reyot, pak Kerto menjelujurkan kedua kakinya. Sebentar-sebentar tangannya mengurut-urut kedua kakinya yang kurus kering itu. Tak lama kemudian ia beranjak dari bangku kemudian melangkah ke bilik belakang yang hanya dibatasi dengan rajutan daun rumbia. Lalu diambilnya beberapa potong ubi dari sebuah panci dan diletakannya di atas selembar daun pisang yang sudah agak mengering. Kemudian melangkah balik ke depan dan duduk di bangku bambu itu kembali.

Dinikmatinya perlahan sepotong demi sepotong ubi rebus, diteguknya pula sisa kopi di gelas untuk melancarkan jalannya kunyahan ubi itu di tenggorokan. Gelas itu belum sempat diletakan, sisa sedikit kopi diteguknya kembali hingga tandas. Setelah itu gelas diletakan di bawah bangku, kemudian diambilnya puntung rokok yang terselip di sela-sela telinganya. Disulut dan dihisapnya kuat-kuat, asapnya dihembuskan perlahan-lahan. Nikmat sekali nampaknya.

Pintu tiba-tiba berderak dibuka seseorang dan disusul munculnya lelaki berperawakan pendek dengan perut yang gendut.

“Ooo….juragan. Silakan gan”, sambut pak Kerto sambil membungkuk-bungkuk. Dan dengan tergesa dibersihkannya bangku bambu yang sudah reyot itu. Masih dengan membungkuk hormatpak Kerto mempersilakan lelaki gendut itu yang dipanggilnya juragan untuk duduk di bangku.

“Bagaimana? Apakah semuanya sudah beres?” tanya sang juragan dengan mimik serius. Matanya sesekali memandang rumah kecil itu.

“Sebagian sudah saya panen, gan. Dan yang belum sisa ladang sebelah kanan parit. Silakan juragan periksa hasil panenan itu”.

“Dimana kau letakan, Kerto?”

“Ada di samping rumah, gan. Semuanya berjumlah enam karung terigu. Bagus-bagus hasil panenan kali ini”, kata pak Kerto sambil membuang sisa rokoknya yang sudah mati. Kemudian juragan itu beranjak dari bangku dan keluar diikuti pak Kerto. Kedua orang itu melangkah menuju samping rumah. Dan sang juragan segera mendekati tumpukan karung. Sesaat, dibukanya salah satu karung dan diambilnya sehelai daun yang ada di dalamnya, kemudian sehelai daun itu diciumnya.

“Ahhh, luar biasa!” teriaknya kegirangan. “Bagus…bagus sekali panenan kali ini, Kerto”, lanjut juragan itu sambil menepuk-nepuk punggung pak Kerto. Dan pak Kerto hanya mengangguk-angguk pelan. Dalam hati pak Kerto ada rasa bahagia karena bisa membuat juragan senang yang berarti ia nanti akan mendapat tambahan upah. Watak juragan memang begitu, kalau sedang senang ia tak segan-segan memberinya tambahan upah. Tapi kalau sebaliknya, berkata pun tidak, apalagi tambahan upah, kata pak Kerto dalam hatinya.

“Enam karung ini disimpan yang baik dan jangan sampai kena hujan. Dua hari lagi aku akan kembali ke sini mengambil semua hasil panenan”, ucap juragan sambil berkecak pinggang.

“Baik, gan”.

“Jangan lupa, simpan karung-karung ini baik-baik”.

“Akan saya laksanakan, gan”, jawab pak Kerto lirih sambil membungkuk-bungkuk.

Sementara matahari berangsur tenggelam dan juragan yang gendut itu menuruni perbukitan, meninggalkan pak Kerto yang masih termangu-mangu diterpa semilir angin senja. Tubuh pak Kerto yang kurus itu masih saja tegak berdiri mematung memandangi juragannya yang terseok-seok jalan di pematang sawah.

Suara serangga bersahut-sahutan mewarnai malam yang dingin. Pak Kerto berbaring di bangku bambu yang reyot itu sambil berselimut selembar sarung. Ia tak dapat tidur, padahal matanya sudah terasa berat oleh kantuk yang menggelantunginya. Sebentar kemudian diperbaiki letak sarungnya untuk menghalau dingin. Kedua telapak tangannya diletakan di bawah kepalanya sebagai alas pengganti bantal. Sementara lampu minyak yang tergantung di sudut ruangan semakin redup. Barangkali habis minyaknya, pikir pak Kerto.

Matanya belum juga bisa dipejamkan. Ditariknya nafas dalam-dalam. Pikirannya tertuju pada pohon-pohon kecil di ladang sebelah kanan parit yang besok harus dipanen. Ia sebenarnya tak habis berpikir, untuk apa juragan menanam pohon-pohon itu. Ia sendiri tak tahu, apa nama pohon yang bentuknya hampir mirip tanaman cabai. Dan ia hanya tunduk pada segala perintah juragannya lalu mendapatkan upah. Ya, hanya itu saja yang pak Kerto lakukan. Sementara pak Kerto sendiri dilarang bergaul dengan orang-orang di sekitar perbukitan. Itu Perintah juragan dan harus dipatuhi. Pak Kerto sendiri kalau pulang ke kampungnya paling cepat empat bulan sekali. Itu kalau musim panen tiba dan ia harus pulang bersama juragan yang membawa semua hasil panenan menuju kota. Juragan memang selama ini selalu baik, itu saja yang ia ketahui. Setiap pulang ke kampung, juragan selalu membekalinya beberapa potong pakaian, susu kaleng, roti kalengan, selain upah yang rutin ia terima.

Sejauh ini pak Kerto belum tahu, jenis apa dan untuk apa pohon-pohon itu ditanam. Ah, kenapa aku harus memikirkannya?, desah pak Kerto lirih. Sementara di luar gemersik dedaunan bergesekan dihembus angin malam perbukitan. Senandung serangga malam sisa satu dua yang terdengar dan mulai ditingkahi suara kokok ayam satu-satu bersahutan di kejauhan.

Pak Kerto baru saja selesai melipat sarungnya yang agak kumal. Sebentar-sebentar ditariknya nafas dalam-dalam. Kini tinggal melipat kaos oblong yang berwarna hijau pudar itu. Tak lama lagi pasti juragan akan datang lalu aku akan ikut serta dengan juragan ke kota, katanya dalam hati. Selintas dipandanginya tumpukan karung terigu. Semuanya berjumlah sebelas karung. Kemarin pak Kerto memanen ladang sebelah kanan parit dan mendapat lima karung terigu penuh. Pak Kerto tertegun sejenak, rambutnya yang agak memutih diusapnya perlahan. Tinggal apalagi yang harus dikemas, pikirnya. Kedua matanya memandangi seputar ruangan itu, tapi ia tak menemukan sesuatu yang mesti dibawa pulang.

Disandarkannya tubuh yang kurus itu ke tumpukan karung di sampingnya. Pikirannya menerawang jauh ke kampung halamannya. Sedang apa istri dan kedua anakku sekarang ya…?, tanyanya dalam hati. Sesampainya di kota nanti pak Kerto ingin membelikan kain kebaya buat istrinya, juga dua sandal plastik buat kedua anaknya. Dan bibir pak Kerto yang hitam dan kering itu berdecah-decah kemudian tersenyum-senyum sendiri. Rasa hatinya bahagia sekali karena sebentar nanti akan segera bisa melepas kerinduan pada istri dan kedua anaknya, setelah empat bulan lebih berpisah.

Pak Kerto kemudian bangkit dan berjalan menuju bilik belakang. Diambilnya sisa kopi yang tinggal seperempat gelas lalu diminumnya hingga tandas. Belum juga ia sempat meletakan gelasnya, tiba-tiba ada terdengar suara orang mengetuk pintu. Ahh.., juragan datang, kata pak Kerto lirih penuh kegembiraan. Ia segera meletakan gelasnya dan dengan langkah yang tergesa pak Kerto menuju ke bilik depan.

“Sebentar gan, sebentar…”, kata pak Kerto girang sambil membuka palang pintu. “Biasanya kan langsung masuk, gan”, lanjutnya sambil menguak daun pintu.

Dan pak Kerto merasa seluruh aliran darahnya terhenti ketika di depannya berdiri empat orang polisi dengan senjata di tangan.

“Jangan bergerak!”, gertak salah seorang polisi. Sedangkan ketiga polisi lainnya langsung masuk rumah kecil itu. Pak Kerto sendiri berdiri kaku, mematung, tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Maaf, bapak saya tangkap”, kata polisi yang habis menggertak tadi sambil mendekat dan memborgol kedua tangan pak Kerto. Dan pak Kerto semakin bertambah bingung.

“Apa kesalahan saya, pak?” tanya pak Kerto terputus-putus.

“Bapak telah menanam dan menyimpan pohon ganja, padahal pohon-pohon ganja ini dilarang ditanam oleh pemerintah”, jawab polisi itu tegas.

“Tapi saya hanya disuruh juragan. Saya hanya melaksanakan perintah juragan, pak”, kata pak Kerto tertunduk.

“Saya mengerti dan memahami keadaan bapak. Juragan bapak sekarang ada di tahanan polisi”.

Polisi itu kemudian menyuruh pak Kerto berjalan menuruni lereng perbukitan. Sedang ketiga polisi lainnya memanggul beberapa karung terigu yang berisi daun ganja dengan dibantu beberapa peladang yang kebetulan berada di sekitar perbukitan itu.

Pak Kerto tertunduk menuruni lereng perbukitan. Inilah jawaban atas teka-teki tanaman itu, batin pak Kerto. Ya, dua tahun lebih baru terjawab sekarang, batinnya lagi dalam hatinya. Tak terasa pipi keriput lelaki tua itu sudah basah oleh air mata. Sementara rumah kecil di atas bukit semakin jauh ditinggalkan. Tuhan, jerit pak Kerto lirih.



Purbalingga, 1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar