Senin, 15 November 2010

Menanti Fatwa Mengganti Tema Idul Adha

Hari-hari ini saya benar-benar menanti fatwa, entah dari MUI atau ulama mana saja di Indonesia ini. Fatwa yang saya tunggu-tunggu adalah: Mari kita fokuskan korban kita di hari Idul Adha yang akan datang minggu depan untuk membantu saudara-saudara yang tertimpa bencana di Wasior, Mentawai, dan Merapi.
Hari ini saya melihat berita di kompas.com yang mengguncang saya—kalau saja kata "mengguncang" bisa sedikit mewakili apa yang saya rasakan. Ada dua orang kakek yang seluruh tubuhnya berbalur serbuk/lumpur abu-abu keputihan. Ada dua orang penyelamat, juga berlabur putih, sedang menggendong seorang survivor (atau 'penyintas') awan panas di sebuah desa lereng merapi.
Entah bagaimana caranya saya langsung teringat hari raya korban yang akan datang. Mungkin karena pagi harinya saya berbicara tentang persiapan pelaksanaan korban di sekolah tempat istri saya mengajar—kebetulan dia panitia dalam acara tersebut.
Saya jadi ngeri sendiri kalau membayangkan bagaimana minggu depan akan banyak kambing di banyak wilayah di Indonesia, dan banyak yang akan mendapat jatah, dan banyak yang akan bikin sate, gule, atau dendeng, sementara tepat pada saat saya membuang-buang waktu menulis postingan ini begitu banyak orang yang kesulitan berteduh, kesulitan makan--ah, jangankan kesulitan berteduh, kesulitan menghirup udara segar saja banyak.
Paru-paru saya jadi terasa sangat penuh.
Dari situ saya jadi terpikir tentang adanya pembaruan atau penggantian yang biasanya akan lebih efektif jika dilakukan tokoh agama, ulama, atau kalau secara nasional MUI lah. Sudah sejak beberapa waktu yang lalu saya risih dengan fatwa-fatwaan, fatwa infotainment haram lah, fatwa merokok haram, fatwa ini haram itu haram dll yang well tidak terlalu menyentuh sendiri kehidupan lah, nggak urgen (nggak seurgen fatwa "korupsi itu haram sehingga ulama harus mati-matian mengutuk korupsi" atau fatwa "membiarkan terjadinya kemiskinan itu haram" dan sejenisnya). Dalam suasana terguncang tadi pagi itu saya jadi menuntut, seperti anak kecil yang sebal (tapi sayang) kepada orang tuanya: kalau sudah begini, kapan ada fatwa "idul adha tahun ini dipercepat seminggu" atau "idul adha tahun ini korbannya mentahannya (uang) saja biar bisa disumbangkan" atau "idul adha tahun ini dagingnya diawetkan biar bisa dikirim ke korban bencana" dll.
Saya sih menuntut-nuntut saja, dan berharap ada rejeki agar bisa "berkorban" idul adha ini, apapun bentuknya. Saya tidak tahu bagaimana detilnya, apakah kita akan gagalkan beli kambing dari para belantik yang sudah kulak banyak kambing dengan harapan mendapat untung besar tahun ini? Apakah kita akan beli kambing itu tapi dagingnya dikirim ke korban bencana, atau apa. Entah.
Tapi yang pasti, kita masih punya waktu satu minggu. Kalau para ulama kepingin bikin fatwa secara perseorangan kayaknya juga masih ada waktu. Kalau para panitia korban masih belum menentukan mau beli kambing di mana, sepertinya masih ada waktu. Kalau Anda masih belum daftar korban tapi sudah punya uang, masih ada waktu. Kalau Anda masih belum punya uang tapi optimis bisa mendapat cukup uang untuk korban, insya allah masih ada waktu.
Kalau Anda sudah punya uang dan tinggal korban, tapi sudah tidak sabar menunggu minggu depan, saya secara pribadi menganjurkan (sebenarnya ingin "memfatwakan," tapi ya bagaimana lagi, tetangga saya bilang saya belum berkompeten) segera saja dipercepat idul adhanya, niat saja berkorban melepaskan ego seperti dilakukan bapak Ibrahim dulu sekaligus diniatkan meringankan beban penderitaan saudara-saudara sendiri.

oleh : Wawan Eko Yulianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar