Jumat, 25 Maret 2011

Tangisnya Mengundang Hujan

Kesenangan melingkupi rumah kami. Beduk ditabuh bertalu-talu. Dalam irama berupa-rupa. Sedikit kasidah, menyerupai orkes melayu. Dangdut sedikit ngerock, pop mellow juga ada. Bukankah tidak ada standar baku dalam hal menabuh beduk? bahkan di mushollah sebelah gang, ada yang pakai gaya jazz full-swing segala, ada juga di surau pojok jalan, pakai gaya pop rege ala Bob Marley.
Malam ini : malam takbiran
Malam kemenangan, kami menyebutnya. Kami semua berlomba menggemakan asma Tuhan. Mulut-mulut mendesah atau malah berteriak seperti adik-adik asramaku yang berebut mik.
Tidak kawan, cerita ini tidak berbicara tentang takbiran, beduk, pop, rock, dangdut, rege atau lebih sempitnya dunia musik. Tidak.
Kali ini aku akan membicarakan tentang rumahku. Ya rumahku. Sebuah yayasan panti asuhan di kota idaman, nan sejuk sana. Tempat anak-anak tidak beruntung ditampung disana. Masa-masa dimana mereka seharusnya bisa hidup indah, masa dimana mereka seharusnya bercengkeramah dengan kedua orang tuanya sambil memamerkan pontennya hari ini, lalu dibelai sembari ayahnya berkata “ ayah bangga padamu, nak”.
Di bagian dalam, rumah kami lebih “bersinar”. Sempurna dengan sinar yang lebih terang. Adik-adik asramaku,  berlarian sibuk memamerkan baju baru, sandal baru, peci baru dan sarung baru untuk  dipakai shalat Id esok. Mereka tidak peduli dengan teriakanku supaya diam, karena aku sedang asyik mengejar khatam qur’anku pada bulan Ramadhan kali ini. Mereka sedang asyik jahil-mejawil, dorong mendorong. Sambil mulut terus mengunyah makanan kecil pemberian tamu tadi sore. Mereka tertawa.
Sadaqallahul’azim..
Alhamdulillah aku bisa mengkhatamkan qur’an walau dengan background sound suara riuh ribut mereka.
Sayang, seribu kali sayang, ketika malam ini seluruh bumi buncah oleh suka cita. Aku melihat kesedihan yang memancar di mata salah seorang adikku. Namanya Anggie, Anggi Saputra lengkapnya. Bocah tujuh tahun ini sedang duduk di tangga tiga tingkat di depan kamar kami. Dia duduk sambil memeluk kedua lulutnya dan kepalanya menunduk ke bawah. Air mata menetes perlahan.
Bocah kecil itu menatap kosong keramaian di halaman. Mata indahnya redup, menyimak teman-temannya yang asyik berlari-lari, bersorak sorai sambil menyalakan kembang api kecil.
Anggi mendesah ke langit-langit malam.
bocah kecil itu sedih, dia tidak tahu  apa itu lebaran. Ia tidak mengerti ketika teman-temannya ramai bercerita tentang makan besar esok hari. Teman-temannya ramai bercerita tentang hadiah.
Anggi rindu ayah-bundanya. Itulah yang ia paham. Tapi bagaimalah ia akan bertemu dengan ayah-bundanya jika bocah kecil ini bahkan sejak lahir tidak mengenalnya. Tiada foto walau sehelai yang ia simpan. Jangankan wajah, suarapun Anggi tak pernah dengar. Bahkan ia ditemukan  oleh seorang pengemis tua yang kebetulan melintas diperempatan lampu merah. Tidak sengaja ia melihat  seorang bocah tergeletak di perempatan lampu merah itu sambil menangis. Umur bocah waktu itu belum genap 3 tahun. Di malam hujan lebat, petir menyambar-nyambar, si-pengemis tua mengantarkan Anggi ke Yayasan Panti Asuhan tempat kami dibesarkan. 
Esoknya, pihak Panti menyebarkan foto Anggi di seluruh Koran dan Stasiun TV di Provinsi kami, barang kali ada orang tua   yang kehilangan anak. Satu minggu berlalu, satu bulan berjalan, tidak ada satu orang-pun datang ke asrama kami yang mengaku sebagai orang tua, ataupun kerabat dari bocah itu.
Ya, Allah sungguh tega sekali. Apa salah Anggi, sehingga dia di buang sedemikian rupa. Salahkah ia bila terlahir tanpa diinginkan.
Maka  seluruh pengurus Asrama sepakat untuk membesarkan bocah itu, serta pengasuh menganggap Anggi sebagai anaknya sendiri.
Empat tahun berlalu,  malam ini Anggi bertanya tentang banyak hal. Sibuk bertanya tentang ayah-bundanya. Sibuk mengeluh. Sibuk protes, kenapa Pengasuh Asrama, malah sibuk mencatat dan membagikan kiriman parsel lebaran. Tidak mendengarnya keluhannya. Merasa diacuhnya, dia menyingkir dengan hati kecewa.
Aku mendekat. “ Anggi ingin sendiri” katanya.
Aku mendekapnya. Mengelus kepalanya. “ Semua berjalan sesuai dengan rencana-Nya,” aku bilang.
Bang, Anggi ingin bertanya langsung kepada Tuhan, tanpa perantara, “ katanya.
Maka kepala mendongkak ke atas, mencari muka Tuhan yang konon kata ada di mana-mana. Demi Tuhan, sungguh menggetarkan sekali mendengar pertanyaan yang polos itu. Anggi menginginkan jawaban yang sederhana. Tidak lebih, tidak kurang. Karena Engkau selalu menjawab setiap pertanyaan. Tapi Anggi tidak tahu itu, ia terlampau kecil untuk mengerti. Dia sedih, maka perlahan air mata menetes di pipinya.
Angin semilir yang lembut justru menikam perasaannya.
Setelah kian lama menunduk, pegal. Kepalanya mendongak. “ bang, kalau orang lain punya ayah, kenapa Anggi tidak ? kalau anak lain punya ibu, kenapa Anggi tidak ? Anggi tidak berharap banyak, Anggi hanya ingin, saat puasaku genap 30 hari, Anggi hanya ingin bercerita kepada ayah-bunda, bahwa Anggi akan menjadi anak yang sholeh. Anggi tidak berharap hadiah seperti yang lain, “.
Ya Tuhan, anak sekecil ini mengajukan pertanyaan yang sangat sulit untuk ku jawab. Karena aku sendiri memendam pertanyaan tersebut dari 10 tahun yang lalu. Sampai sekarang belum jua kutemukan jawabannya. Jadi penjelasan apa yang harus ku jelaskan.
“ Anggi, ayah-Ibu Anggi pasti sangat bangga pada Anggi, yakinlah, mereka sangat menyayangimu. Anggi harus rajin belajar ya.., rajin shalat, mengaji dan berdoa, maka suatu saat Anggi pasti akan tahu sendiri jawaban dari pertanyaan Anggi tadi, “ hanya itu yang dapat kuucapkan.
Dan sempurna, saat bulir pertama air mata kami jatuh, seketika petir menyambar terang menyilaukan. Disusul Guntur menggelegar. Langit indah terusir sudah. Bintang gemintang lenyap tak berbekas, digantikan angin kencang. Dan sekejap hujan turun dengan lebatnya. Membasuh kota kami, membasahi rumah kami. Dan aku harus bergegas mencari ember guna menampung air hujan yang jatuh lewat celah-celah atap seng yang bocor.
Takbiran di jalan sudah bubar. Orang sibuk berlindung dari derasnya hujan. Beduk-beduk ditinggalkan, galon plastik dilempar sembarangan. Sarung-sarung diangkat, digunakan untuk menutup kepala. Peci miring, semakin miring. Lihatlah hujan merusak makna lebaran tahun ini.
Anggi tidak berlindung, ia tidak menghindar. Bocah kecil itu masih diam mendekap erat kedua lututnya. Tubuhnya basah, sebasah perasaannya. Terisak.
Pengasuh Panti tadi pagi marah kepadanya, Anggi menyesal. Bukankah pengasuh Panti sudah amat baik selama ini. Banyak bercerita, banyak tertawa, mengajarkan mengaji, membaca. Kenapa Anggi malah sibuk bertanya soal ayah-bunda. kenapa  Anggi bertanya tentang itu setiap hari, tiap bulan, oi..setiap tahun malah. Sudah seperti minum obat. Seharusnya Anggi membantu Pengasuh membersihkan halaman, membuang sampah. Bukankah Anggi anak yang baik.
Tapi ia terlanjur menonton iklan di TV yang menayangkan kebahagiaan mereka  yang menyambut lebaran bersama kedua orang tua mereka. Pergi bersama shalat Id di lapangan. Berpegangan tangan, berjalan bersisian. Salam, saling berpelukan setelah shalat Id. Oi.. sungguh cemburu ia.
Anggi menangis lagi, sebenarnya urusannya malam ini amat sederhana. Ia rindu ayah-bunda.
Maka ketahuilah kawan, malam itu dan juga sepanjang malam sesudahnya, kota sejuk kami selalu turun hujan lebat ketika bocah kecil polos itu menangis. Itulah rahasia Tuhan, tangis bocah itu bisa mengudang hujan.

Note : tulisan ini seutuhnya aku dedikasikan buat adik-adikku yang sedang tersenyum cerah disana. Secerah sinar yang selalu terang benderang di atas rumah asrama kita. Aku mencintai kalian karena Allah.

Senin, 21 Maret 2011

3 Helai Janji

Malam itu,
saat itu,
di tempat paling gelap,
paling lembab, pojok kamarku,
telah kutinggalkan sebuah asa,
kukubur dalam-dalam dengan serunai,
jemari gemetar, hati tersiram,
lantas dengan segenap sisa kekuatan,
kututup rapat-rapat dengan 3 helai janji,
helai pertama: janji tak akan kembali,
helai kedua: janji tak akan menunggu,
helai ketiga: janji untuk memperbaiki-diri
ihklas dgn "KEPUTUSAN" terbaik

dulu, disinilah, aq menyimpan hati,
tumbuh rimbun bambu gading berdaun jingga,
malam ini, sayang, hanya mekar kecambah jamur yg ada,
patah ujungnya, ringkih akarnya,
berserak ulat, rakus mendekat,
tdk bersisa, tdk berjejak,
m-a-t-i....

Minggu, 20 Maret 2011

Bumi Seribu Domba


Di tempat ini, di bumi seribu domba, padang rumput luas membentang sejauh mata memandang. Ini adalah anugrah..
Di tempat ini, di bumi ketika kembang2 bermekaran membuat putih langit, harum semerbak menyergap hidung. Ini harus disyukuri…
Tengoklah..,pengembala, anak2 bertelanjang dada berkejaran, sebungkus nasi di balut daun pisang untuk bekal siang ini. Nyala api dan tertawa riang…
Kami jumlahnya berates., beribu bahkan berjuta…
Gergenerasi..,berbilang kakek, kakeknya kakek.., bermoyang.., moyangnya moyang hingga ke atas-ke atasnya lagi..
Beranak pinak, berbilang cucu, cucunya cucu.., berpiut.., piutnya piut,, hingga ke bawah- ke bawahnya lagi…
Hirarki panjang rantai keturunan.., tp apapun itu kami adalah satu..
Hingga masa itu tiba..
Lebih kelam dibandingkan ambisi Jengis Khan yang ingin menguasai benua timur menjadi satu dibawah kakinya..
Lebih kejam dibandingkan serbuan invasi ratusan ribu prajurit hitler dan Stalin yang tidak cukup puas dengan tanahnya..
Sungguuh menyedihkan.. karena itulah, saat saat padang rumput kami ditadangi musuh yg tidak bias ditusuk perutnya, tidak bisa dirantai tangannya.., bahkan tidak bs dilihat wajahny…
Badai menyergap negeri kami…
Gempa melanda negeri kami..
Lahar menyeruak keluar dr penut bumi kami..
Wahai Lihatlah.., badai datang bergelung tinggi.., kelabu jingga, mengerikan.., menggulung kuda, menarik domba.., tenda, tungku anak2 mereka…
Berhenti sejenak hanya untuk membiarkan kami menatap gelimpang sisa ganasnya..
Setahun berlalu, kami hanya bisa meringkuk ketakutan di lubang2 tanah persembunyian berharap semua akan berhenti..
Tapi itu tidak pernah kunjung jadi..
Negeri ini seperti sudah dikutuk bumi.
Hingga saat asa tak lagi bersemi..
Hingga mimpi tak lagi datang..
Hinga tak ada lagi bunga bermekaran..
Tak ada lagi rumput bertumbuh..


Nota : tadinya aq ingin bikin tulisan in I macam gurindam 12 khas melayu.., kata2nya berunut berirama…

Selasa, 15 Maret 2011

Misteri: Pilihan & Mimpi2

Sy malas sebenarnya membahas soal beginian karena akan terdengar 'filosofis' dan 'menyebalkan'. Filosofis karena sejatinya kita hanya menebak2 apa maksudnya (bahkan pujangga [utk menyebut nama lain dr filsuf] besarpun hanya menebak2); Menyebalkan karena hakikatnya sy hanya menulis dari sisi sok bijak dan sok tahu; kongkretnya sy justru 'melakukannya' sebaliknya... Tapi tak apa.. toh, tidak ada tuntutan pidana apalagi perdata atas tulisan yg sok tahu.

Tahun 1485, Columbus semangat sekali melobi Raja Portugal, John II untuk membiayai perjalanannya.. 3 tahun berlalu, setelah serangkaian audiensi, plus melakukan appeal ke pengadilan atas proposal yg tertolak, semua berakhir sia-sia.. Columbus juga mencoba peruntungan dgn Henry IV, Raja Inggris.. tp sama saja, tdk ada hasil.. Pertanyaan bodohnya, kenapa Columbus tdk jadi pedagang sajalah? Dia kaya, terkenal, bangsawan, dekat dgn seluruh Raja2 Eropa, tokoh penting.. kenapa pula dia harus susah2 membuat proposal pergi ke dunia antah-berantah? mencari mati? tp Oom Columbus memilih utk terus.. tahun 1492, akhirnya, setelah 6 tahun, Isabela, Ratu Spanyol berkenan memberikan pendanaan atas perjalanannya.. butuh 3 tahun proses lobi dan menghadapi pengadilan atas persetujuan proposal.. tp Columbus tetap pada pilihan mimpinya, maka berangkatlah Columbus..

Amir jelas bukan Columbus.. cuma guru SD di bilangan utara pulau Lombok. Cita2nya juga jelas bukan menemukan benua baru.. bahkan pulau baru sj sudah habis dimakan satelit.. simpel sekali mimpi2nya.. semoga di kampungnya yg kerontang 9 bulan, basah 3 bulan, penduduknya berak di kebun2, tingkat kematian bayi super-tinggi, akan muncul orang2 yg berhasil dan peduli.. maka Amir, 29tahun, memutuskan terus menjalankan SD Inpres-nya yg cuma geribik bambu.. 30 tahun pengabdiannya.. 6x bangunan SD roboh (juga dirobohkan karena terlalu mengkhawatirkan); berkali2 pergantian pejabat; tdk terhitung gajinya habis demi murid2nya; pernah 2x tahun ajaran baru dia tdk punya murid baru; dan panjang sekali kesusahan yg harus dihadapi.. pertanyaan bodohnya, kenapa pak Amir ini tdk minta pindah ke Mataram saja? nyusah2in anak dan istri tinggal ditempat terpencil.. tdk, tentu saja dalam urusan ini Pak Amir tetap bertahan dgn pilihannya.

30 tahun berlalu, mari kita hitung apa yg telah dihasilkan atas keteguhan pak Amir menanamkan semangat belajar, semangat berjuang mengalahkan keterbatasan: 1 anak didiknya sudah menjadi profesor di universitas ibukota; 1 orang menjadi dokter di mataram, belasan menjadi sarjana dan mapan dgn pekerjaan di luar Lombok; 1 orang (pak Amir malas sekali mengakuinya), menjadi anggota DPRD setempat.. peduli amat jika kampung mereka tetap tdk maju2 dr status tertinggal.. peduli amat jika ratusan yg lain hanya tamat SD, jadi buruh tani, TKI, dan atau pengangguran dimana2.. setidaknya mimpi2 pak amir terwujud..

Setiap kelokan hidup, kita selalu berpapasan dgn pilihan.. tdk ada jalanan yg lengang, apalagi musim mudik lebaran.. urusan simpel saja, kita selalu bertemu dgn pilihan, apalagi mimpi2 yg lebih besar.. melanjutkan pendidikan di mana.. bekerja dimana.. berhenti atau pindah.. menikah dgn siapa.. naik bus atau angkot atau ojek.. berangkat jam 9 atau jam 10.. mandi dulu atau tdk.. makan siang menu padang atau sate... semua bukankah pilihan?

ada pilihan2 yg simpel sekali yg dengan mudah kita putuskan dlm sekejap; tanpa takut implikasi atas pilihan2nya.. ada pilihan2 yg susah sekali.. yg berkedut2 waktu berlalu tetap tdk bisa diputuskan; takutt sekali jika berbuat salah.. dan lebih banyak lagi pilihan2 yg berada di antara kedua titik ekstrem itu... jangan2 manusia itu dilahirkan dengan nama tengah: "memilih".. karena jelas.. bahkan jika kita dalam posisi tdk punya pilihan sekalipun, kita tetaplah memiliki pilihan, yaitu pilihan utk tdk punya pilihan.

maka ditengah carut-marut pemahaman hidup; datanglah derivatif atas pilihan.. mulai dari: penyesalan, menunggu, sabar, sukses, sakit-hati, kecewa, dan seterusnya... apalagi jika hidup kita dibawa rumit, jaring2nya semakin membelit... orang2 yg sakit hati, yg kecewa atas pilihannya mulai mendendangkan prosa2 klise macam: "lebih baik terlambat drpd tidak sama sekali"; "nasi sudah menjadi bubur"; "penyesalan selalu datang terakhir"; atau prosa yg indah seperti: "20 tahun dr sekarang, kita akan lbh menyesali hal2 yg tdk kita lakukan dibandingkan yg kita lakukan tp itu sebuah kesalahan", tumbuh menjadi filsuf atau pujangga sok tahu; sementara orang2 yg merasa sukses dgn pilihannya, merasa mantap dgn apa yg telah dilakukannya akan bilang: "apa susahnya? teguhkan tekad, dispilin, disiplin, dan disiplin"; dan yg sejenisnya dgn ini. mereka berubah menjadi yurisprudensi kehidupan.. sementara orang2 yg hidup ditengah kedua titik esktrem itu? yeah, kebanyakan hanya sibuk membaca postingan macam beginian.. senang mencatat banyak prosa indah.. ringan mendiskusikannya.. dan melalui kehidupan biasa2 saja..

di buku Rembulan Tenggelam Di WajahMu, untuk menjelaskan soal pilihan dan mimpi2 saya memberikan sepotong kisah begini: Bayangkan, dulu ada seorang Arab tua, renta, sakit-sakitan. Selama delapan puluh tahun Arab tua itu tinggal di Oase gurun. Kehidupan Oase yang biasa-biasa saja. Bahkan baginya sama sekali tak berguna. Tidak berarti.

Berkali-kali dia bertanya kepada dirinya sendiri, buat apa hidupnya begitu panjang kalau hanya untuk terjebak di Oase itu. Dia tdk tahu apa pilihan hidupnya.. Sama sekali tdk mengerti.. Hanya mencoba bertahan di tempat dia lahir.. tumpah-darahnya.. Saat Oase mulai mengering, saat orang-orang mulai pindah, menyedihkan dia justru memaksakan diri bertahan. Mengutuk tubuh tuanya yang tidak bisa lagi di ajak pergi. Benar-benar kesia-siaan hidup.

Delapan puluh tahun percuma…. Dia menjalani masa kanak-kanak sama seperti teman-temannya. Menjadi remaja yang tak bosan bicara cinta sama seperti remaja lainnya. Bekerja menjadi pandai besi. Menikah. Punya anak. Dan seterusnya. Sama seperti penduduk Oase lainnya. Istrinya meninggal saat tubuhnya beranjak tua, beberapa tahun kemudian anak-anaknya pergi ke kota-kota lain. Dan dia tertinggal. Sendirian, hanya sibuk berteman dengan pertanyaan apa arti seluruh kehidupan yang dimilikinya.

Suatu hari serombongan karavan melintas di puing-puing Oase yang mengering. Mereka tiba persis saat Arab tua itu mati di rumah kecil dan buruknya. Lihatlah, hingga maut menjemput Arab tua itu tidak tahu apa sebab-akibat hidupnya…. Karavan itu tidak peduli, meneruskan perjalanan setelah mengisi penuh-penuh tempat air. Hanya satu yang peduli. Orang itu berbaik hati menguburkan Arab tua tersebut. Kalian tahu, ternyata orang yang berbaik hati itu terselamatkan atas pembantaian Suku Badui, kawanan bandit yang menguasai gurun…. Karavan yang pergi lebih dahulu itu ternyata binasa, tidak bersisa. Orang yang berbaik hati menguburkan Arab tua tersebut baru berjalan esok harinya, menemukan bangkai dan sisa-sisa pertempuran mereka saat meneruskan perjalanan.

Tahukah kalian, lima generasi berikutnya, dari orang yang berbaik hati itu ternyata lahir seorang manusia pilihan. Manusia pilihan yang orang-orang kelak menyebutnya al-amin…. Bukankah kita tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Arab tua itu tidak meninggal hari itu, bukan? Orang baik itu juga ikut terbantai, bukan? Apakah yang akan terjadi dengan generasi kelima keturunannya kalau Arab tua itu tidak tinggal menyesali diri di Oase. Bagaimana dengan nasib pembawa risalah itu. Itulah sebab-akibat kehidupannya. Itulah pilihan hidupnya.. Yang sayangnya tidak dia ketahui hingga maut menjemput.

Apakah kisah ini nyata? tentu sj cm karangan penulis tp siapa tahu? astaga? siapa yg tahu, jangan2 memang pernah terjadi.. KARENA kita sungguh tdk pernah tahu implikasi atas pilihan2 hidup yg akan kita lakukan..


source : tere-ronjeng

Minggu, 13 Maret 2011

Tidurku Tak Nyenyak Lagi, Malamku Tak Terang Lagi

Kawan, Masih ingat cerita tentang Jeg, seorang anak tukang semir sepatu yg novelny saya ambil secara paksa itu. Beberapa hari lalu, lupa persisnya, jum'at kalo tak salah, Ba’da jum’at, akhirnya ada teman yg bisa konfirmasi di mana lokasi Jeg berada. Maka, sorenya saya bergegas berangkat menuju rumah, tmpat tinggal Jeg. Rumah yang sangat sederhana. Di gang sempit sekitar pasar minggu Kota Bengkulu.
Awalny, saya pikir urusan buku yang salah ambil akan selesai... tapi ternyata; buku harry potter ini jauh dr selesai.. biar saya bawa satu truk tuh buku, tetap saja percuma! sia-sia.. saya hanya menemukan prasasti kesedihan dan penyesalan atas sebuah kejahatan yg mungkin tdk akan pernah bisa diperbaiki lagi..

Jeg butuh satu bulan menabung hingga akhirnya bisa beli harpot ke-7 yg ratusan ribu rupiah itu. Buku itu bukan buat dia; tapi buat kakak-nya yangg berumur 15 tahun. Kakak-nya ini sudah lima tahun terakhir terkena TBC; bulan-bulan terakhir semakin parah, karena kena komplikasi lain.
Kakak perempuannya ini dirawat jalan di rumah; menghabiskan waktu dengan membaca dan menulis.. maka Jeg rajin membelikan buku-buku buat kakaknya. Sudah lama sekali kakak Jeg ini minta dibelikan harry potter 7. Sore itu, saat Jo akan membawa pulang buku tsb, kejadian salah paham itu terjadi...

Maka, mau saya bawa seribu harry potter ke rumah sederhana Jeg, itu semua percuma.. karena kakak Jeg meninggal 2 minggu setelah saya sadar ada salah paham tersebut... jadi kakak Jeg tdk akan pernah bisa membaca buku tsb.. saat mendengar cerita dr ibu Jeg, rasanya mau saya lempar, robek2 saja tuh buku... saya tak tahu akan seperti ini ceritanya..

pas pulang, sekali lg saya minta maaf, Jeg hanya menunduk, bilang pelan: "gk apo2 kak !"

Ya Allah.., Sungguh tidurku terasa tak nyenyak lagi, dan malamku tak terang lagi. Jeg sungguh kau bias menuntut semua kebaikanku. Baik di dunia maupun di akhirat. Sungguh..!!

***
Ya Allah, itulah kenapa "memindahkan duri di jalanan" termasuk salah satu bentuk keimanan pada-Mu... meski ia ada di urutan paling bawah.. karena kami tdk pernah tahu muliplier effect atas sebuah perbuatan.. celakanya, kami bahkan utk hal2 baik seperti sadaqah yg berlipat 700 sj kadang lupa, apalagi soal berlipat2 dampak jahat atas keburukan2 yg pernah kami lakukan.. semoga hamba tdk termasuk yg bangkrut kelak di hari akhir..

Jumat, 11 Maret 2011

Surat Untuk Mamak

Anakmu yakin, saat mamak baca surat ini, maka di sekitar sana ada banyak sekali malaikat yg berseri, lihatlah, mereka berseri2 karena melihat mamak sedang merekah senyum saat membaca surat dr anakmu ini, amat senang melihat wajah mamak yg tiba2 berubah lebih muda 20 tahun.. meskipun apa daya, untuk kesekian kali, lagi2 surat ini hanya berisi keluh-kesah...

Bjay lagi pusingg, mak.. macam dipukul2 pelepah daun kelapa.. tuk, tuk, tuk.. atau macam menyeberang sungai pakai perahu, persis ditengah perahunya bocor.. kembali ke seberang cadas tak kan sempat, memaksa terus pastilah tenggelam..

apa pasalnya? ah, mamak pasti tahulah, anakmu tidak pusing karena belakangan ini melihat profile seseorang di fesbuk.. ada yg cantik, mak.. berkerudung lembut, berwajah cerdas, serta salehah sekali nampaknya, dan belakangan menyenangkan chatting dgnnya.. anakmu tak pusing terkdang senyum sendiri..,

anakmu juga tak pusinglah soal harta-benda.. tdk cemas meski tetap bersendal jepit butut.. kemana2 naik angkutan umum.. bertahun2 hanya numpang... bertahun2 makan di warung pinggiran jalan.. insya Allah, tdk akan pusing soal ini.. karena itu semua cuma pilihan.. besok lusa, kalo anakmu ini memilih utk kaya, maka semoga itu diimbangi kaya dihati.. kaya di tabiat,kaya di perangai.. karena kalau tdk, semua kekayaan itu hanya akan membebat leher kelak saat kiamat..

mak, anakmu skrg lg pusing karena melihat sekitar... pusinggg sekali.. astaga, mak, apakah hari ini org2 sudah sedemikian tdk berbudinya.. kemarin lalu ada mobil keren melintas dijalan sempit.. tet! tet! tet! nyuruh orang2 minggir.. ada tukang becak yg tdk mau nyingkir, karena jalannya memang sempit, berantemlah tuh sopirnya dg tukang becak.. jd tontonan orang satu kampung.. kemarin lalu, di pinggiran pntai itu, anakmu melihat transaksi esek2... cuma sepelemparan batu dr sekolah dasar yg banyak anak2nya.. tdk malukah mereka, tdk punyakah mereka ibu, saudara perempuan atau bahkan anak perempuan..

ini yg jelas2 sajalah terlihat buruk.. belum lg yg sejatinya buruk, tp karena sudah menjadi kebiasaan, maka semua org merasa baik2 saja.. anakmu sering sekali mendengar pak satpam yg mengeluh gajinya kecil.. sopir angkutan yg ngomel setorannya berkurang... teman2 yg berdasi yg ngeluh gajinya tdk sebanding pekerjaan.. suka membanding2kan dgn orang lain.. ah, tidakkah mereka mau paham soal jika secara duniawi tdk dpt apa2 (gaji kecil, dll); maka alangkah ruginya jika harus kehilangan akheratnya (karena kebanyakan ngeluh; tdk ikhlas)...

anakmu lbh pusing lg kalau lg di angkot.. ada anak kecil yg nangis, ibunya malah ngomel2.. di kampung2, orangtua meneriaki anak2nya yg masih bocah... abg2 yg merasa seksi dgn pakaian mini2.. remaja2 cowok yg merasa oke dgn merokok.. semua putar-balik.. kacau-balau.. sepertinya tdk ada lg indahnya kehidupan berkeluarga.. tdk terlihat indahnya proses mendidik.. awak pusing, mak..

org2 yg tdk sensitif membuat orang lain tidak nyaman.. org2 yg suka nonton acara gosipp.. astaga, gosiipp itu setara memakan bangkai saudara sendiri.. tp tetap saja suka.. dan masihhh banyak sekali daftar lainnya, yg tdk bisa anakmu tulis satu persatu karena tdk ada gunanya...

mak, anakmu tahu sekali, setiap kali membaca surat macam ini, mamak akan menatap sy lamat2, lantas bilang.. "itulah duniamu sekarang... itulah masyarakatmu sekarang... kau pandai2lah membawa diri.." iya, mak.. tentu saja anakmu akan pandai2 membawa diri.. selalu.. meski sekali dua nyaris terjerumus godaan setan berpantat, satu-dua nyasar di tempat keliru, insya Allah anakmu bisa membawa diri.. tp urusan ini kan tdk soal anakmu selamat saja.. awak cemas melihat anak 2 jalanan yg tidk mengenyam pendidikan, semoga suatu saat anakmu di ini diberi kesemptan untuk member pendidikan lebih kepd mereka..
anakmu ini cemas melihat ponakan2, menggemaskan sekali mereka skrg... atau suatu saat nanti, anak2 sy sendiri, mak.. suatu saat kelak, ketika mereka tumbuh dewasa, tak terbayangkan sejauh mana kejahiliyaan itu yg harus mereka hadapi... apakah mereka akan selamat atau tidak.. pandai membawa diri atau tidak.. ini yg awak cemaskan..

mak, kemarin lusa awakmu sedih melihat betapa banyak org2 yg sibuk berebut jabatan, berebut kekuasaan.. membakar ratusan lembar uang utk memasang iklan2 kampanye.. sibuk bicara ttg perekonomian rakyat, hal2 keren lainnya.. org2 juga sibuk bicara soal dogma2 agama yg keren2.. sibuk bicara ttg demokrasi, wah.. jago sekali mak.. sampai terpesona anakmu ini.. padahal mereka lupa, kalau mereka memang ingin merubah dunia.. apakah mereka sudah memulainya dr diri sndiri, tetangga, kampung sekitar mereka.. tdk usah jauh2..


nampaknya sampai disini dulu saja surat dr anakmu ini, mak.. sekarang sudah pukul 23.00.. mata awak sudah ngantuk.. mengangguk-angguk.. diakhiri dulu sajalah suratnya.. sekian, mak.. semoga Allah senantiasa sayang, mamak.. besok lusa sy akan memikirkan banyak cara.. setidaknya kelak saat ditanya oleh malaikat, anakmu bisa ngeles : " paling tidk sy sudah ikut resah.. saya sudah ikut resah wahai malaikat yg bertanya.."

(Bengkulu, 11/03/11…)

Bergenmbiralah Bjay ( Karena tdk ada yang menghiburmu jg)

di sini hanya ada gemericik gerimis hujan..
bergelinjang pelan menyapa...
udara dingin menyergap langit2..
rinai gerimis menyeka dahi..

di sini hanya ada kotak-kotak keramik..
bau kaporit tak terasa..
garis-garis pemisah menjadi delapan..
injakan kaki yang mengkilat..

di sini hanya ada saya dan udara malam...
lupakan semua rasa sedih, rindu, marah
di sini tdk boleh ada aura negatif...
yg ada hanya saya dan ruang kosong...

maka Bjay memejamkan mata, merenggangkan tangan2.. menarik selimut... mematikan lampu.. tidur.. lupakan semua!!

Kamis, 10 Maret 2011

Sepotong Bulan Untuk Bedua

malam ini,
saat dikau menatap bulan,
yakinlah kita melihat bulan yg sama,
mensyukuri banyak hal,
berterima-kasih atas segalanya,
terutama atas kesempatan utk saling mengenal,
esok-pagi, semoga semuanya dimudahkan..

malam ini,
saat dikau menatap bulan,
yakinlah kita menatap bulan yang satu,
percaya atas kekuatan janji2 masa depan,
keindahan hidup sederhana, berbagi dan bekerjakeras,
mencintai sekitar dengan tulus dan apa-adanya..

malam ini,
saat dikau menatap bulan,
yakinlah kita menatap bulan yang itu,
semoga yg maha memiliki langit memberikan kesempatan,
suatu saat nanti,
kita menatap bulan,
dari satu bingkai jendela



Selasa, 08 Maret 2011

Kangen

ternyata kangen itu bisa membuat menangis tanpa disadari..
ternyata kangen itu bisa membunuh malam-malam..
hingga pagi datang tanpa terasa..