Selasa, 15 Maret 2011

Misteri: Pilihan & Mimpi2

Sy malas sebenarnya membahas soal beginian karena akan terdengar 'filosofis' dan 'menyebalkan'. Filosofis karena sejatinya kita hanya menebak2 apa maksudnya (bahkan pujangga [utk menyebut nama lain dr filsuf] besarpun hanya menebak2); Menyebalkan karena hakikatnya sy hanya menulis dari sisi sok bijak dan sok tahu; kongkretnya sy justru 'melakukannya' sebaliknya... Tapi tak apa.. toh, tidak ada tuntutan pidana apalagi perdata atas tulisan yg sok tahu.

Tahun 1485, Columbus semangat sekali melobi Raja Portugal, John II untuk membiayai perjalanannya.. 3 tahun berlalu, setelah serangkaian audiensi, plus melakukan appeal ke pengadilan atas proposal yg tertolak, semua berakhir sia-sia.. Columbus juga mencoba peruntungan dgn Henry IV, Raja Inggris.. tp sama saja, tdk ada hasil.. Pertanyaan bodohnya, kenapa Columbus tdk jadi pedagang sajalah? Dia kaya, terkenal, bangsawan, dekat dgn seluruh Raja2 Eropa, tokoh penting.. kenapa pula dia harus susah2 membuat proposal pergi ke dunia antah-berantah? mencari mati? tp Oom Columbus memilih utk terus.. tahun 1492, akhirnya, setelah 6 tahun, Isabela, Ratu Spanyol berkenan memberikan pendanaan atas perjalanannya.. butuh 3 tahun proses lobi dan menghadapi pengadilan atas persetujuan proposal.. tp Columbus tetap pada pilihan mimpinya, maka berangkatlah Columbus..

Amir jelas bukan Columbus.. cuma guru SD di bilangan utara pulau Lombok. Cita2nya juga jelas bukan menemukan benua baru.. bahkan pulau baru sj sudah habis dimakan satelit.. simpel sekali mimpi2nya.. semoga di kampungnya yg kerontang 9 bulan, basah 3 bulan, penduduknya berak di kebun2, tingkat kematian bayi super-tinggi, akan muncul orang2 yg berhasil dan peduli.. maka Amir, 29tahun, memutuskan terus menjalankan SD Inpres-nya yg cuma geribik bambu.. 30 tahun pengabdiannya.. 6x bangunan SD roboh (juga dirobohkan karena terlalu mengkhawatirkan); berkali2 pergantian pejabat; tdk terhitung gajinya habis demi murid2nya; pernah 2x tahun ajaran baru dia tdk punya murid baru; dan panjang sekali kesusahan yg harus dihadapi.. pertanyaan bodohnya, kenapa pak Amir ini tdk minta pindah ke Mataram saja? nyusah2in anak dan istri tinggal ditempat terpencil.. tdk, tentu saja dalam urusan ini Pak Amir tetap bertahan dgn pilihannya.

30 tahun berlalu, mari kita hitung apa yg telah dihasilkan atas keteguhan pak Amir menanamkan semangat belajar, semangat berjuang mengalahkan keterbatasan: 1 anak didiknya sudah menjadi profesor di universitas ibukota; 1 orang menjadi dokter di mataram, belasan menjadi sarjana dan mapan dgn pekerjaan di luar Lombok; 1 orang (pak Amir malas sekali mengakuinya), menjadi anggota DPRD setempat.. peduli amat jika kampung mereka tetap tdk maju2 dr status tertinggal.. peduli amat jika ratusan yg lain hanya tamat SD, jadi buruh tani, TKI, dan atau pengangguran dimana2.. setidaknya mimpi2 pak amir terwujud..

Setiap kelokan hidup, kita selalu berpapasan dgn pilihan.. tdk ada jalanan yg lengang, apalagi musim mudik lebaran.. urusan simpel saja, kita selalu bertemu dgn pilihan, apalagi mimpi2 yg lebih besar.. melanjutkan pendidikan di mana.. bekerja dimana.. berhenti atau pindah.. menikah dgn siapa.. naik bus atau angkot atau ojek.. berangkat jam 9 atau jam 10.. mandi dulu atau tdk.. makan siang menu padang atau sate... semua bukankah pilihan?

ada pilihan2 yg simpel sekali yg dengan mudah kita putuskan dlm sekejap; tanpa takut implikasi atas pilihan2nya.. ada pilihan2 yg susah sekali.. yg berkedut2 waktu berlalu tetap tdk bisa diputuskan; takutt sekali jika berbuat salah.. dan lebih banyak lagi pilihan2 yg berada di antara kedua titik ekstrem itu... jangan2 manusia itu dilahirkan dengan nama tengah: "memilih".. karena jelas.. bahkan jika kita dalam posisi tdk punya pilihan sekalipun, kita tetaplah memiliki pilihan, yaitu pilihan utk tdk punya pilihan.

maka ditengah carut-marut pemahaman hidup; datanglah derivatif atas pilihan.. mulai dari: penyesalan, menunggu, sabar, sukses, sakit-hati, kecewa, dan seterusnya... apalagi jika hidup kita dibawa rumit, jaring2nya semakin membelit... orang2 yg sakit hati, yg kecewa atas pilihannya mulai mendendangkan prosa2 klise macam: "lebih baik terlambat drpd tidak sama sekali"; "nasi sudah menjadi bubur"; "penyesalan selalu datang terakhir"; atau prosa yg indah seperti: "20 tahun dr sekarang, kita akan lbh menyesali hal2 yg tdk kita lakukan dibandingkan yg kita lakukan tp itu sebuah kesalahan", tumbuh menjadi filsuf atau pujangga sok tahu; sementara orang2 yg merasa sukses dgn pilihannya, merasa mantap dgn apa yg telah dilakukannya akan bilang: "apa susahnya? teguhkan tekad, dispilin, disiplin, dan disiplin"; dan yg sejenisnya dgn ini. mereka berubah menjadi yurisprudensi kehidupan.. sementara orang2 yg hidup ditengah kedua titik esktrem itu? yeah, kebanyakan hanya sibuk membaca postingan macam beginian.. senang mencatat banyak prosa indah.. ringan mendiskusikannya.. dan melalui kehidupan biasa2 saja..

di buku Rembulan Tenggelam Di WajahMu, untuk menjelaskan soal pilihan dan mimpi2 saya memberikan sepotong kisah begini: Bayangkan, dulu ada seorang Arab tua, renta, sakit-sakitan. Selama delapan puluh tahun Arab tua itu tinggal di Oase gurun. Kehidupan Oase yang biasa-biasa saja. Bahkan baginya sama sekali tak berguna. Tidak berarti.

Berkali-kali dia bertanya kepada dirinya sendiri, buat apa hidupnya begitu panjang kalau hanya untuk terjebak di Oase itu. Dia tdk tahu apa pilihan hidupnya.. Sama sekali tdk mengerti.. Hanya mencoba bertahan di tempat dia lahir.. tumpah-darahnya.. Saat Oase mulai mengering, saat orang-orang mulai pindah, menyedihkan dia justru memaksakan diri bertahan. Mengutuk tubuh tuanya yang tidak bisa lagi di ajak pergi. Benar-benar kesia-siaan hidup.

Delapan puluh tahun percuma…. Dia menjalani masa kanak-kanak sama seperti teman-temannya. Menjadi remaja yang tak bosan bicara cinta sama seperti remaja lainnya. Bekerja menjadi pandai besi. Menikah. Punya anak. Dan seterusnya. Sama seperti penduduk Oase lainnya. Istrinya meninggal saat tubuhnya beranjak tua, beberapa tahun kemudian anak-anaknya pergi ke kota-kota lain. Dan dia tertinggal. Sendirian, hanya sibuk berteman dengan pertanyaan apa arti seluruh kehidupan yang dimilikinya.

Suatu hari serombongan karavan melintas di puing-puing Oase yang mengering. Mereka tiba persis saat Arab tua itu mati di rumah kecil dan buruknya. Lihatlah, hingga maut menjemput Arab tua itu tidak tahu apa sebab-akibat hidupnya…. Karavan itu tidak peduli, meneruskan perjalanan setelah mengisi penuh-penuh tempat air. Hanya satu yang peduli. Orang itu berbaik hati menguburkan Arab tua tersebut. Kalian tahu, ternyata orang yang berbaik hati itu terselamatkan atas pembantaian Suku Badui, kawanan bandit yang menguasai gurun…. Karavan yang pergi lebih dahulu itu ternyata binasa, tidak bersisa. Orang yang berbaik hati menguburkan Arab tua tersebut baru berjalan esok harinya, menemukan bangkai dan sisa-sisa pertempuran mereka saat meneruskan perjalanan.

Tahukah kalian, lima generasi berikutnya, dari orang yang berbaik hati itu ternyata lahir seorang manusia pilihan. Manusia pilihan yang orang-orang kelak menyebutnya al-amin…. Bukankah kita tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Arab tua itu tidak meninggal hari itu, bukan? Orang baik itu juga ikut terbantai, bukan? Apakah yang akan terjadi dengan generasi kelima keturunannya kalau Arab tua itu tidak tinggal menyesali diri di Oase. Bagaimana dengan nasib pembawa risalah itu. Itulah sebab-akibat kehidupannya. Itulah pilihan hidupnya.. Yang sayangnya tidak dia ketahui hingga maut menjemput.

Apakah kisah ini nyata? tentu sj cm karangan penulis tp siapa tahu? astaga? siapa yg tahu, jangan2 memang pernah terjadi.. KARENA kita sungguh tdk pernah tahu implikasi atas pilihan2 hidup yg akan kita lakukan..


source : tere-ronjeng

1 komentar:

  1. Assalaamu'alaykum..wrh..
    bang, dapet award nih dari fi..
    http://adekfi.wordpress.com/awards-2/the-second-one/
    silahkan diambil yoh ^^

    BalasHapus